Tato Kecoak di Punggung Telapak Tangan

Tato Kecoak di Punggung Telapak Tangan. Foto/canva.com

Tidak aneh. Tetapi, selama aku ke warung ini, baru kali ini tak ada satu orang pun yang berkunjung. Sejak aku masuk, duduk di meja-kursi biasanya, di pojok yang terhalang kamera cctv, sampai habis dua cangkir kopi dan sebotol air mineral hampir tandas. Mamring, seperti kuburan.

Baca juga: Mee, Namaku (12)

Lonjakan harga-harga bahan pokok, barangkali. Suara-suara protes, cenderung caci maki, bertebaran di media sosial. Bahkan, seorang pengamat mengatakan; akan terjadi penurunan daya beli besar-besaran. Akan terjadi gejolak sosial yang masif. Kata pengamat lainnya.

Ketika aku termangu menghubungkan sepinya warung ini dengan berita-berita ekonomi dan sosial, dua orang turun dari sepeda motor dan memesan makanan. Mereka memilih tempat duduk di pojok lain, sepuluh meteran dari tempat dudukku.

Mereka menurunkan rangsel dari pundaknya, dan sangat hati-hati meletakkan di kursi sebelah duduknya. Mereka duduk berhadapan. Dari hadapan saya, yang perempuan di kiri, seberangnya laki-laki. Meja yang memisahkan panjangnya dua kali lipat dari mejaku. Cukup Luas.

Mereka saling bicara, nyaris tak mengeluarkan suara. Gerakan bibirnya juga susah aku terjemahkan dalam kata. Cara bicara seperti itu, lebih tepat kalau dikatakan mendesis. Mungkin sengaja berbicara seperti itu. Ada yang dirahasiakan.

Rahasia? Orang seperti mereka? Aku kira, mereka memberikan ciri sebagai orang yang terbuka. Orang yang mudah bergaul. Keduanya memakai kaos, celana jeans di atas lutut, bersepatu kets.

Aku terpesona memandang mereka. Mataku tidak berkedip mengikuti gerak-gerik mereka yang hampir menyerupai patung. Rupanya, yang laki-laki, merasa aku perhatikan. Matanya bergerak, melirikku. Aku gugup. Seperti maling tertangkap basah. Aku pura-pura mencari-cari barang di atas mejaku. Mencari sesuatu yang tidak ada. Dan, tanpa tujuan yang jelas, aku membuka laptop. Pura-pura pula mengetik, pada layar yang tidak pernah aku nyalakan.

Baca juga: Tunggulah Sampai Tanda Waktu Tak Mengabarimu

Kepalaku seperti dipaksa menunduk. Tetapi, keinginanku untuk memandangnya juga mendesak-desak. Aku menjadi berlagak dengan mengaktifkan gerak-gerik kepalaku. Dan tentu, sesekali pandangan mataku mengarah pada mereka.

Selintas terlihat, mereka seperti sedia kala; berhadapan, pandangan mereka saling memagut. Bicaranya tetap mendesis. Pada lirikanku yang ketiga kalinya, si perempuan mengangkat tangan kanan, menggaruk-garuk dengan seluruh jarinya. Ada gambar tato di punggung telapak tangannya. Warnanya coklat menyala, kontras dengan warna kulitnya; putih langsat.

Saat aku terkesima, sambil menebak-nebak gambar binatang apa gerangan, dua kepala itu menoleh berbarengan kepadaku. Mata yang laki-laki setengah melotot. Wajahnya yang tirus itu menjadi lucu dengan bola mata akan melompat dari kelopaknya. Dan yang perempuan, melirikku dengan mimik acuh tak acuh.

Aku merasa segan. Bahkan merasa bersalah, jika mereka berpikiran aku ingin turut campur atau sedang menyelidikinya. Atau bahkan, aku berpikiran kalau mereka berpikiran bahwa aku akan merencanakan suatu tindakan yang buruk kepada mereka.

Aku tak berkutik. Aku mati kutu. Mataku berputar sendirinya menghindari tatapan mata kedua orang asing di depanku. Aku bicara ngawur, tanpa aku tata susunan kalimatnya. Dengan suara bergetar, aku mengatakan hasil penglihatanku yang mengendap di bawah sadarku.

“Tatonya bagus,” kataku, sekenanya.

“Kenapa, memangnya,” sambar yang perempuan ketus dengan ekspresi tak berubah; matanya melirik dan mimiknya acuh. Pandangan mata yang laki-laki lebih tajam, seperti memberi ancaman kepadaku.

Aku hampir minta maaf. Tetapi mereka segera kembali saling bertatapan.

Baca juga: Soesilo Toer: Pram Itu Ideologinya Kebebasan

Mereka belum saling bicara lagi ketika dua pelayan warung mengantar makanan pesanannya. Dua pelayan membawa dua baki. Setiap baki mewadahi beraneka hidangan. Ada nasi telor sambal bawang pedas. Porsi sambalnya aku taksir tiga atau empat kali lipat dari porsi normal. Mie kuah telor jumbo juga diturunkan di atas meja, dua porsi. Nasi ayam kremes, juga dengan porsi sambal berlipat. Mie goreng jumbo toping telor dadar dan ayam goreng, disajikan di piring lebar, tidak di mangkuk seperti biasanya warung ini menyajikan mie goreng. Wao, banyak sekali menu yang dipesan, sampai mejanya terlihat penuh.

Si Perempuan dengan jarinya merobek telor yang digoreng kering setelah dikocok. Robekan telornya digunakan menjumput sambal, dan disuapkan kedalam mulutnya, seperti sedang makan roti yang dicolekkan pada sus. Tak ada perubahan mimik karena rasa pedas sambal. Orang yang tahan terhadap panas. Pastilah omongannya juga pedas, batinku.

Si Laki-laki menggulung mie goreng di ujung garbu, dan memasukkan ke dalam mulutnya. Sesuap demi sesuap. Matanya tak melepaskan pandangan pada yang perempuan.

Ketika sambal di atas piring, di hadapan si Perempuan, tandas menyisakan minyak mengkilat kekuningan, dan menyisakan sepuluk nasi telornya habis lebih dulu, dua pelayan warung datang lagi. Masing-masing membawa baki. Di atas baki mereka tersuguh beberapa jenis minuman. Satu baki untuk si Perempuan berisi kopi tubruk robusta, es tape, dan teh tarik. Satu lagi, untuk si Laki-laki dihidangkan soda gembira, air mineral, dan coklat panas.

Si Perempuan menyambar es tape dan mengaduknya. Kemudian mencecapnya berlarut-larut sampai tinggal separuh gelas, tanpa menggunakan sedotan. Dan yang Laki-laki membuka botol air mineral, kemudian menenggaknya dengan kepala mendongak.

Keherananku tidak terputus. Setelah mendapat sajian tato di punggung telapak tangan (ah! kemudian aku tahu gambar tato itu binatang kecoak), mata melotot, lirikan dengan mimik acuh, disambung pesanan makanan dan minuman berporsi-porsi. Terbersit dalam pikiranku; orang-orang rakuskah? Tidakkah sebaiknya setiap orang makan secukupnya saja? Pantaskah makan berlebihan saat orang lain banyak yang kesulitan untuk makan? Bukankah menghentikan makan sebelum kenyang dapat membantu kesehatan?

Berderet pertanyaan itu tak menemukan jawaban untuk dua orang di hadapanku. Pada saat pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di dalam kepalaku, di sisi lain perasaanku terasa tertekan pada gaya sepasang orang itu, kedua orang itu telah menghabiskan seluruh makanan dan minumannya yang tersaji di atas meja. Bahkan, nasi yang sebelumnya tersisa telah bersih di atas piring.

Mereka mulai mengangkat rangselnya pelan-pelan, dan digendongkan di punggungnya. Mereka saling membantu untuk menata dan mengikat tali rangsel melingkar pinggangnya. Kemudian beranjak dari meja tempatnya makan. Sambil keluar ruangan warung, si Perempuan melirikku dengan mimik acuh. Demikian juga dengan si Laki-laki memandangku dengan mata melotot.

Aku baru mendongak ketika mereka sudah keluar warung. Aku mengikuti langkahnya sampai punggung mereka ditelan pagar halaman. Aku penasaran! Hendak kemana mereka? Aku berusaha menguntit dari belakang. Namun, ketika aku melongok ke arah jalan yang mereka tapaki, mereka sudah tidak kelihatan lagi.

*

Aku masih bertahan di warung. Di tempat duduk yang sama. Dan, masih seperti semula, menghadap laptop yang layarnya belum aku nyalakan. Aku syok! Hampir dua jam sejak dua orang itu meninggalkan warung.

Baca juga: Pohon Ficus di Hutan Buraku

Saat aku membuka handphone, notifikasi medsosku banyak sekali. Ketika aku buka, satu judul menginformasikan telah terjadi ledakan di pusat kota. Medsos itu juga menginformasikan, ledakan itu bersamaan dengan kehadiran seorang Menteri.

Dua foto yang terpampang membuat aku melompat dari tempat duduk. Foto itu beredar dari pantauan CCTV Kota. Foto pertama menggambarkan dua orang sedang menenteng tabung gas LPG, berjalan di atas pedestrian. Satu orang, kelihatannya perempuan, berjalan di depan yang laki-laki.

Aku membesarkan foto itu di layar handphone. Tidak salah! Gumamku. Dua orang pembawa tabung gas itu tidak lain dan tidak bukan adalah dua orang yang sekitar dua jam-tiga jam lalu makan di warung ini. Tepat di meja depanku. Kedua orang yang telah makan banyak sekali. Orang yang telah melirik kepadaku dengan mimik acuh. Orang yang matanya telah melotot kepadaku. Warna kaosnya, sepatu ketsnya, celana jeans setinggi bawah lutut. Meskipun, pada foto ini mereka memakai topi. Tetapi, apa anehnya? Bisa jadi mereka sedang pulang dan menyempatkan beli gas LPG. Mumpung masih ada! Bukankah gas LPG sedang susah dicari? Barangkali juga, setelah sampai di rumahnya, mereka akan memasak lagi untuk makan besar kedua kalinya hari ini. Apa masalahnya?

Tetapi, foto kedua memperlihatkan, sisa-sisa porak poranda sehabis terjadi ledakan. Yang membuat aku memicingkan mata, benda yang tergeletak di sudut bawah kanan foto. Gambar itu membuat jantungku berhenti berdetak. Darahku terasa beku tak mengalir.

“Astaga!” teriakku.

“Ada apa, Om?” kedua pelayan warung menghampiriku.

Aku terduduk. Sendi-sendiku terasa luruh. Keringat bercucuran. Seandainya aku tidak ingin memastikan benda di foto itu, aku tak akan membuka handphone lagi. Aku tatap lekat-lekat gambar itu; sepotong lengan tangan kanan dengan gambar tato kecoak di punggung telapak tangan. Perempuan itu!

Baca juga: Perkuat Literasi, Kobis Gelar Belajar Menulis Fragmen

Aku membaca keterangan di bawahnya dengan mata sembab. “Seorang satpam menjadi korban ledakan itu!”

Aku baca komentar di bawahnya, bernada ambigu, “Mengapa dia yang terkena ledakan? Tidak dia saja?!”

Ampun!


Tawangmangu, Samaan. 4 Februari 2025, 21.55

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *