Mee, Namaku (32)

Mee, Namaku (32). Foto/Ilustrasi/canva.com

Pada larik-larik tayangan sebelumnya, menceritakan Mee diperlakukan sebagai budak. Kelanjutanya, Mee putus asa berusaha mengakhiri hidup, di tayangan berikut. Baca juga: Mee, Namaku (31)

Bagian 5

Putus

32

Kalau ada yang dapat menikmati hari demi hari
Dengarkan aku, berjalanlah dengan kepala tegak
Tengoklah, aku lebih rapuh dari kaktus di tengah gurun Ghobi
Diterpa angin dan badai pasir tetaplah tegak

Baca juga: Kegagapan Manusia Perbatasan

Burung-burung dapat terbang menerobos angin menderu
Hinggap berkicau pada pohon perdu pagar
Aku sekedar jalan kecil di kampung dan buntu
Tak ada jalan tembus yang membebaskan, bertemu burung gereja terbang liar

Hidup kadang tak dapat diurai dengan kata-kata
Banyak peristiwa yang diam tersembunyi
Batasku sudah menjemput di depan mata
Hanya sependek ini jalan hidupku yang bisa aku lalui

Kalau dapat aku pilih menjadi petualang dengan jalan terjal
Menembus jejak pada terang matahri sampai ujung malam
Akalku telah buntu, rasaku telah menjelang ajal
Harapan terkikis dari waktu ke waktu, hingga padam

Dalam judi modal dapat dipertaruhkan
Tak ada cerita berakhir dengan kemenangan
Ujung dunia bisa dijangkau dengan hidup yang dipertahankan
Apa guna jika jiwa mandeg, hanya gumpalan daging yang hendak disusulkan

Temaram malam masih menjumpai pagi
Garis cahayanya menusuk di pucuk-pucuk bunga
Menghentikan nadi sudah tak bisa terkendali
Dengan berbutir-butir tablet obat sakit kepala

Baca juga: Penjaja Panggung

Siapa tahu ujung jalan yang akan menghentikannya
Kenyataan yang sudah berlarut dari masa silam
Tetapi aku bukanlah pemilik hidup, untuk meraih atau membuangnya
Aku tak menemukan jalan kematian, tetapi siksa makin mendalam

Gerah sinar matahari di tengah siang
Panasnya menebar luas seperti jala
Memang mataku sempat hanya melihat bayang
Yang kemudian menghujamkan dengung dalam kepala

Jadi, masihkah aku percaya pada peramal
Masa depan seperti masuk dalam mulut goa yang menganga
Tubuhku berputar-putar di atas kasur kumal
Menyisakan basah keringat yang keluar dari kepala dan telinga

Maka, aku percaya ujung jalan itu seperti hantu
Makin misterius pada saat bulan purnama
Nasibku, kehendak matipun mengalami jalan buntu
Lantas, cara menyiksa apa lagi yang dapat mengantarku sirna

Bisakah kamu menyalakan api tanpa menarikan asap?
Hangatnya dapat mengundang hujan menderai
Aku makin layu di sudut kamar paling gelap dan pengap
Biarlah, barangkali ajal tiba merambat pada tubuhku yang lunglai

Baca juga: Sujud Tora Malam Itu

Kalau kamu masih memiliki kehangatan dalam keluarga
Peliharalah agar tak kehilangan kasih sayang
Berhari-hari aku tak menyuap mulutku dengan asupan tenaga
Berhari-hari nglimbruk seperti gombal lusuh yang harus dibuang

Suatu saat datang masa manusia telah jatuh
Menegakkannya memerlukan beribu jalan dan waktu
Dewa bengis itu menjumpaiku pada hari ketujuh
Membawa tongkat penjalin memukuli punggungku

Yang kuasa kerap kali tak dapat menjaga perangai
Sifat kejamnya akan datang mewarnai zaman
Ia mengusirku, tak sudi di rumahnya menyimpan bangkai
Aku keluar pintu rumah tetangga Kanjengan

Entah, ini awal atau akhir kisahku
Rasanya menjadi alur terpengggal perjalananku
Sanak saudara tidak ada yang berani mencegahku
Mereka tak akan berani memikul nasib seperti aku

 

(Bersambung)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *