Sujud Tora Malam Itu

Sujud Tora Malam Itu. Foto/Ilustrasi/canva.com

Sebatang rokok di tangannya telah habis, dan tidak ada lagi yang bisa dibakar. Tora memandang langit yang jauh malam itu. Ia dihantui perasaan berdosa, terutama pada anak bininya. Matanya tak berani menatap anaknya (usianya baru empat tahun), yang sedang tertidur pulas. Istrinya mendiamkannya sudah tiga hari ini.

Baca juga: Laki-laki dalam Kamar

Tora tidak pernah bisa menjawab pertanyaan pada nasibnya. Ia lebih memilih mengutuknya, menyalahkan dirinya sendiri, karena sembrono ikut aliansi buruh. Andai ia tidak ikut demo buruh, mungkin masih bekerja hari ini. Padahal ia hanya menyampaikan ketidakadilan, tidak lebih. Namun, ia dan kawan-kawannya malah mendapat ketidakadilan yang lebih besar, PHK. Tidak ada pesangon layak. Ia hanya menerima amplop tipis yang hanya cukup untuk hidup tidak lebih dari sebulan. Ia merasakan nasibnya sangat berat sekarang.

“Nasi tidak hanya sudah jadi bubur, tapi ini sudah basi,” pikir Tora. Penyesalan memang tidak pernah masuk rencana.

Pada carut-marut pikirannya, suara aneh masuk di kupingnya.

“Tuhan mau bertemu denganmu!”

Seketika mata Tora terang, tidak ada lagi lamunan. Tora kaget. Jantungnya berdetak sangat cepat. Ia masuk ke rumah secepat rusa berlari. Badannya merinding. Ia merasa setan sedang berbisik di kupingnya. Tora mengunci pintu rapat-rapat, dan memilih bersandar di tembok ruang tamu.

“Ya Allah… Astaghfirullah,” ucap Tora berkali-kali, membuatnya lebih tenang.
Tora menarik nafas dalam-dalam dan berulang. “Aku perlu solat malam,” pikirnya mencari jalan lebih tenang.

Ia segera solat malam itu. Pikirannya masih kacau. Pada takbir pertama, putus asa menekan dalam dirinya. Matanya berkaca-kaca. Ia menahan airmatanya agar tidak keluar. Pada sujud akhir rakaat kedua, suara itu datang kembali, “Tuhan mau bertemu denganmu!”

Seketika Tora merasa aliran darah dalam tubuhnya terhenti. Ia merasa seluruh tubuhnya kaku dalam telungkup. Sujudnya panjang dan ia larut pada suara yang mengiang dalam telinganya.

***

Saat bangun dari sujud tubuhnya terasa ringan dan kembali bisa digerakkan. Tora merasa asing. Bola matanya hanya bergerak-gerak. Ada rasa bingung dan takut yang bercampur dalam dirinya.

“Dimana aku?” batin Tora, keringatnya menyebar di sekujur tubuh.

Baca juga: Mee, Namaku (31)

Ia mengingat, dalam sujud terakhirnya. Hanya hamparan sabana sepanjang penglihatannya. Begitu luas. Langit mendung membenam warna biru. Tora mematung sendirian. Heran. Takut. Tak bergerak.

Ia masih bisa merasakan detak jantungnya. Detaknya masih sama cepat dengan rasa takut pada suara aneh itu.

Suara itu kembali masuk ke kupingnya, “Tuhan mau bertemu denganmu!”

Tora berusaha menolak suara itu. Bagaimana mungkin Tuhan mau bertemu dengannya? Apakah ia telah mati? Kalau pun ia telah mati, bagaimana mungkin Tuhan mau bertemu dengannya?

Ia bukan nabi. Bukan pula wali. Ia bukan Muhammad yang mi’raj, atau Idris yang merayu Tuhan untuk melihat surga, atau Musa di Tursina. Tora hanya merasa dirinya manusia yang putus asa, tidak lebih.

“Apa ini semua?” Tora berteriak keras. Sekeras-kerasnya. Lantang.

Tidak ada jawaban. Hanya hening. Hanya suara angin yang berhembus perlahan, dan tarian rumput-rumput menguning. Tora mengulang teriakannya. Hening mengulang tanpa jawaban.

Dalam ketakutannya itu, air matanya tak tertahan. Ia menangis. Tersedu. Ia tak pernah menangis seperti ini. Seingatnya, ia menangis terakhir kali saat kanak-kanak. Saat dewasa sama sekali tidak pernah menangis.

Tora selalu merasa jika tangisan hanya untuk bayi. Apalagi pekerjaannya adalah satpam (sebelum dipecat). Pekerjaan yang mengharuskannya terlihat garang. Sepanjang hidupnya, Tora berkali-kali merasa takut. Ia masih bisa menahan dirinya untuk tidak menangis. Tapi sekarang, sendiri di sabana seluas itu, ia menangis sejadi-jadinya.

“Apa ini?” teriak Tora.

Tora semakin terisak. Ia merasakan dadanya sampai sesak. Kerongkongannya juga terasa kering. Sekering rumput-rumput sabana yang menguning.

Dalam keputusasaan, Tora masih berharap memperoleh jawaban. Ia harus mencari, mencoba untuk berjalan, mencoba untuk tetap sadar. Dimana ia sekarang?

Sepanjang jalan, Tora tidak menemukan apa pun selain rumput-rumput yang menguning digoyang-goyang oleh angin. Tidak ada satu pun makhluk lain. Pohon pun tidak ada. Hanya Tora sendiri dengan rumput-rumput di sabana itu. Ia tidak peduli, dan ia terus berjalan. Tanpa arah. Tanpa tujuan. Apa yang mau dicari selain hanya pasrah dan berjalan?

Langit masih tetap sama. Tidak berubah sedikit pun. Tidak gelap tidak pula cerah. Hanya mendung.

“Tuhan mau bertemu denganmu!” suara itu kembali datang, semakin lantang terdengar di kuping Tora.

“Bajingan, apa maksudnya ini?” Tora mengumpat begitu keras. Namun tetap tidak ada jawaban. Ia hanya mendengar pantulan suaranya sendiri yang membuat Tora merasa seperti mengumpat pada dirinya sendiri.

Baca juga: The Scarlet Letter: Sebuah Kisah Tentang Dosa, Penebusan, dan Pilihan Hidup

Tora kembali menangis. Merengek seperti bocah dua tahun beol di celana. Tapi siapa yang peduli? Tora hanya bisa menangis dan berjalan tanpa arah. Kerongkongannya yang kering membuat semua terasa lebih sulit. Tora tetap memaksakan diri berjalan walau sempoyongan.

“Tuhan mau bertemu denganmu!”

Suara itu lagi, terakhir kali didengar Tora sebelum tubuhnya rubuh. Ia masih bisa merasakan hembusan nafasnya. Ia rasakan hembusan angin lirih menyentuh kulitnya.

***

Tora memaksakan diri untuk membuka mata. Ia merasa seperti sedang melihat layar di ponselnya. Namun layar itu lebih besar, lebih besar dari layar bioskop. Ia saksikan layar itu dengan tergelatak dan kerongkongan yang terasa sangat kering.

Baca juga: Tihawa Arsyady Pendekar Sastra Dari Aceh

“Aku rasa, memang aku sudah mati,” pikirnya saat itu, pasrah.

Tapi, mengapa ia tidak merasakan sakaratul maut seperti keyakinannya. Bukankah begitu menyakitkan sakaratul maut itu?

Ia masih ingat saat solat malam waktu itu, dan ia juga ingat setelah sujud kedua semua berubah. Hanya itu saja yang ia ingat.

Layar itu tiba-tiba menyala. Mata Tora sedikit buram, namun ia masih bisa merasakan.

“Tuhan mau bertemu denganmu!” suara itu lagi-lagi datang.

Tora tidak peduli lagi dengan suara itu. Tora telah kehilangan rasa apa pun pada kondisinya sekarang. Hatinya masih ingin mengumpat. Namun kondisinya saat ini, hanya bisa membuatnya diam. Matanya masih buram, dan dalam samar ia melihat scene awal video itu. Pertunjukan dimulai.

Tora melihat dua orang yang dikenalnya. Bapak dan ibunya. Mereka khusyuk dalam doa. Pada doa yang melangit itu, dalam lauhul mahfudz, Tora melihat dirinya sedang bernegosiasi.

“Sebentar lagi kau akan melihat hidupmu dari lahir sampai mati, jika kau sepakat, kau akan lahir dari rahimnya,” ucap suara tanpa wujud itu.

Tora melihat perjalanan hidupnya. Satu waktu ia merasa bahagia. Sekali waktu ia merasa takut. Lalu ia merasa kecewa, suka, duka dan bergembira. Tora melihat dirinya sendiri saat bayi. Lalu melihat dirinya saat kanak-kanak. Ia juga melihat dirinya saat sekolah, lalu saat dewasa. Ia melihat dirinya saat jatuh cinta, lalu saat kecewa dan putus asa. Juga ia melihat dirinya saat begitu bahagia. Sampai pada waktu ia melihat dirinya sendiri mati. Lengkap betul perjalanan hidup yang ia lihat, tanpa sedetik pun terlewat.

“Apa kau setuju?” ucap suara tanpa wujud itu.

Tora diam. Berpikir cukup dalam.

“Aku setuju,” ucap Tora tegas.

Ia akan lahir, dan ia merasa hidupnya luar biasa. Itulah alasan ia setuju.
Detik itu juga, saat Tora setuju pada perjalanan hidupnya, ia terlempar pada sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tora merasa berada pada tempat berbeda. Ia akan terlahir, ia akan hidup.

Saat itu pula video dalam layar besar itu berhenti. Saat Tora memejamkan mata, dengan air mata tangis yang tertinggal di ujung pelupuknya. Dengan detak jantung yang masih sama. Dengan takut dan khawatirnya yang masih sama. Ia merasa telah kembali.

Baca juga: Efek Diskusi Bukowski: Sebuah Upaya Mewawancarai Diri Sendiri

Pada sujud panjangnya, Tora bangkit dari sujud itu. Menyelesaikan salam pada solat malamnya. Malam itu, Tora merasa detak jantungnya masih berdetak cepat. Nafasnya masih tersengal. Tora memutuskan masuk kamar, berbagi selimut dengan anak bininya.

Nganjuk, Mei – Juni 2025

 

(Editor: Iman Suwongso)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *