Pulang

Pulang. Foto/Ilustrasi/canva.com

“Di sini kita pulang, Nak! Kata Ibu dulu. Menunjuk rumah penuh cahaya,”.

Malam ini, aku sudah berjanji akan pulang bertemu dengan ibu. Malam menjelang Minggu Palem. Ibu selalu mengharapkan anak-anaknya pulang, dan berkupul saat mendekati Tri Hari Suci Paskah.

Baca juga: Kawan

Rasanya malam ini sangat panjang. Aku berjalan, menyusuri jalan sunyi yang basah, sisa hujan sore tadi. Beberapa kali kakiku mencoba menghidar dari genangan-genangan air gelap dan pekat.

Tinggal beberapa langkah menuju jalan berbelok ke kiri, lalu menuju rumah kos di ujung gang, tiba-tiba hujan deras kembali mendera. Mungkin, rindu hujan pada tanah yang telah ditumpahkan tadi sore, belumlah tuntas. Sehingga hujan kembali datang menemui tanah.

Tanah pun, tak pernah menolak kerinduan hujan. Meski malam telah larut, tanah dengan sabarnya menerima kerinduan hujan. Dipeluknya tetesan demi tetesan kerinduan hujan, hingga habis tak bersisa.

Di antara hujan dan tanah yang sedang melepas kerinduannya, langkahku termangu dalam keraguan. “Ah…itu bukan kakiku yang termangu. Tapi otakku yang ragu memutuskan,” gerutuku sendiri.

Keputusan masih aku timbang, antara ingin berlari kencang menuju rumah kos, atau berteduh di bawah teras toko kelontong. Ah…di antara keraguan itu, ternyata titik-titik hujan telah lebih cepat menghujami tubuh lusuhku. Sepertinya, hujan tak ingin tubuhku menghalangi perjumpaannya dengan tanah.

Tanpa mendengar kerisauan perdebatan di dalam otakku. Kakiku melangkah menepi, menuju teras toko kelontong. Tanganku pun, bekerja otomatis mendekap tas hitam berisi lembaran kertas, yang memuat beberapa keliping berita, dan coretan tulisanku seharian ini.

“Semoga tidak basah isi tas ku,”.

Teras toko kelontong yang sempit, telah penuh manusia. Tak kulihat wajahnya. Hanya warna gelap dan tubuh yang tegap, nampak dari bayangan di tembok putih. Otakku memprotes keputusan kakiku, yang tiba-tiba memilih melangkah untuk berteduh.

Keputusan berteduh itu sia-sia. Tubuhku tak dapat tempat. Ujung teras toko kelontong mengucurkan air, dan tepat mengenai tubuhku. Di hari gelap yang semakin pekat, karena listrik pun ikut sekarat. Otakku mengajak tubuhku pergi dari teras toko kelontong.

Sedikit membungkuk. Tubuh tipisku, berusaha melindungi tas hitamku dari titik-titik hujan yang terus menyemburkan kerinduannya pada tanah. Kakiku melangkah dengan penuh rasa bersalah pada otakku.

Baca juga: Buah Hati

Saat langkah kedua kuayunkan, dan bersiap berlari, bayangan gelap dan tegap di belakangku tiba-tiba dengan sigap menyergabku. Tubuh tipisku kaget menerima sergapan secara tiba-tiba itu. Aku mencoba menggerakkan tubuh mungilku, untuk melawan, tapi tak kuasa.

Tubuhku lunglai dalam dekapan bayangan gelap dan tegap, yang tak pernah kuketahui berapa banyak jumlahnya. Yang kurasakan hanya gelap, dan kesadaranku yang mulai hilang. Masih kulihat kertas isi dalam tasku dicerabut paksa oleh bayangan gelap dan tegap itu.

“Ambil semuanya!!!”

Suara banyangan gelap dan tegap itu, begitu keras serta kasar kudengar di dekat telingaku. Tangan-tangan kekar dan gelap, bergerak begitu cekatan, mengoyak isi tasku. Kertas-kertas mulai basah. Dan tangan-tangan kekar itu, mengoyak semuanya.

“Kamu bagian dari gerombolan kutu busuk itu ya?!”

Hardikan bayangan gelap itu, seperti menyumbat semua nadiku. Ya, hardikan menghentak, bersama letupan gerombolan mesiu yang menekan ujung proyektil timah melaju menghantam kulitku.

“Ach…!!!”

Eranganku tercekat di tenggorokan. Kurasakan panas menembus kulit dan dagingku. Panas itu kurasakan datang bertubi-tubi, hingga hanya kurasakan kesunyian dan cairan meleleh membasahi beberapa bagian celanaku.

“Mana teman-temanmu yang lain? Kerja kalian bikin susah saja. Ayo ngaku, di mana kalian berkumpul?”.

Suara hardikan dari bayangan gelap itu menyambar lagi telingaku, kini disertai injakan kaki bersepatu keras di bekas-bekas lubang timah panas yang masih meleleh.

Perih. Sangat perih. Rasanya napas tinggal diujung tenggorokam saja, saat kaki itu terus saja menginjakku. Hanya gelap yang kulihat, seluruh kepalaku terbungkus gelap.

Baca juga: Mee, Namaku (20)

“Bos, teman-temannya sudah tidak ada. Hanya beberapa buku yang kami temukan. Bagaimana ini bos?”.

Terdengar suara kering dan kasar, berbincang dengan bayangan hitam yang masih saja menginjak tubuh mungilku.

“Ambil semua! Ini yang kita cari. Mereka yang selalu melawan kita. Habis ini kita musnahkan saja. Bikin repot saja!”.

Bayangan hitam itu memerintahkan si empunya suara kering dan kasar. Hanya kudengar suara bayangan hitam itu begitu keras menghentak.

“Kalian itu bikin susah saja. Sudahlah tak usah bicara keadilan. Kalian itu hanya kurcaci. Keadilan hanya milik kami. Nanti kami bagi keadilan itu untuk kalian,”.

“Ha…ha…ha…masih muda jangan sok bicara cahaya terang keadilan. Tau?! Jangan sok atur-atur kami. Kami yang akan atur kalian. Ngerti?!”.

Suara dari kegelapan itu terus saja menghentak di telingaku. Tubuhku kembali diinjaknya di antara kesunyian dan basah hujan. Basah kuyup tubuh mungilku terbujur diguyur hujan malam ini.

***

Hujan selalu kunikmati penuh kegembiraan di masa kecilku. Bersama Mastur, Hadi, Kus, dan si mungil Kirom, aku selalu bermain sampai hujan mereda. Badan basah kuyup, bercampur lumpur, berlarian di tanah lapang, memainkan bola plastik yang mulai usang.

Baca juga: Warti Sang Wartawan

Tanah lapang berpagar kawat berduri, dan dijaga si galak yang selalu membentak saat melihat kami bermain di tengahnya. Tanah lapang di desa kami, yang tak pernah kami miliki, karena sudah jadi milik anak penguasa dari ibu kota.

Tak jarang, aku harus kena bentakan pedas ibuku, saat pulang dalam kondisi basah kuyup berlumpur. “Lihat itu wajahmu lumpur semua. Bajumu siapa yang nyuci kalau sudah kotor begini? Hah!!!”.

“Plak…!!!”.

Tak jarang bentakan ibu, juga bercampur dengan pukulan telapak tanggannya di badanku. Menyisakan perih dan merah di bagian pinggangku. Aku diguyurnya pakai air dingin, lalu dikeramasi dan disabuni. Busa-busa sabun dan sampo, tidak jarang membuat pedih mataku yang menumpahkan air mata.

“Kamu tahu orang desa ini tidak boleh sembarangan masuk ke tanah lapang itu? Hah…! Kamu bisa mati ditangkap penjaga tanah lapang itu…” suara parau ibu penuh nada kawatir, tiba-tiba terputus, dan tak ingin lagi bercerita tentang tanah lapang itu.

Setelah tubuh mungilku bersih. Ibu cepat-cepat menyuruhku ganti pakaian dan makan. Telur rebus sebiji, telah dibagi jadi tiga bagian. Ditaruh di atas cobek, yang berisi sambal terasi. Sambil masih terisak, menahan pedih, kumakan nasi hangat dengan telur rebus dan sambal terasi.

“Dibagi sama masmu dan adikmu. Jangan dihabiskan,”

Ibu berkata, sambil menuju kamar mandi. Aku perlahan menyelesaikan makanku. Selesai makan, kucuci piring, sambil kulihat ke arah kamar mandi. Kulihat dari sudut mataku yang masih sembab, ibu bekerja keras membersihkan bajuku yang penuh lumpur.

Sesekali ibu mengusap keringat di keningnya. Hari mulai gelap, saat ibu selesai mencuci dan nampak kelelahan. Aku hanya bisa menyesal, melihat ibu terduduk kelelahan di sudut dapur, berteman sebuah ember plastik tempat menampung air hujan yang bocor menerobos atap hingga berceceran di lantai dapur.

***

“Plak…!!!”

Kurasakan pukulan keras pakai telapak tangan kasar dan besar. Tepat mengenai mukaku. Tak kurasakan ada kelembutan kasih sayang seperti pukulan ibuku kala itu. Pukulan penuh emosi, dari bayangan gelap dan tegap. Sesaat kemudian, kurasakan tendangan silih berganti datang menghampiri tubuhku.

Baca juga: Kebijaksanaan Seorang Maestro Sastra

Tak tau lagi berapa kali tendangan, pukulan, dan siksaan dari bayangan gelap dan tegap itu datang menghampiri tubuhku. Hingga tak kurasakan lagi sakit. Mungkin ini juga yang dirasakan tanah, saat menerima kerinduan hujan yang tumpah dari langit.
Sesaat bayangan gelap dan tegap itu hilang, saat seberkas cahaya datang dari sudut jendela.

“Ini Minggu Palma ya,”.

Hampir dua kali Paskah, bayangan gelap itu selalu menghantuiku. Sepertinya tinggal menunggu waktu saja, tangan-tangan kekarnya mencekikku. Menghentikan seluruh nadiku. Membekukan darah merah, yang membawaku sampai ke kota ini.

Darah merah, yang membangunkan kesadaranku. Membuatku bergemuruh, ingin selalu melihat terang cahaya di tanah yang kupijak. Terang itu telah dirampas dari hidupku. Dibelenggu pemilik tanah lapang di desaku.

Masih kuingat, deretan gerbong kereta api membawaku pergi ke ibu kota ini. Penuh kesadaran, menuntutku untuk merebut kembali cahaya-cahaya yang terbelenggu kuasa itu. Meskipun kepergian itu harus kuhadapi dengan keras penolakan bapakku.

“Nak… kamu melawan tembok. Kamu tak akan kuat,” suara bapak kala itu penuh dengan kecemasan. Tapi tekadku terlanjur bulat. Aku harus merebut cahaya itu. Tanah lapang itu harus kembali untuk anak cucuku kelak.

“Di ibu kota, kita rebut kembali terang cahaya itu kawan! Jangan berpikir lagi menang atau kalah, tapi itu terang cahaya milik kita semua, bukan milik mereka yang berkuasa,”.

Masih lekat kuingat, suara kawanku menggelegar di dalam gerbong kereta penuh sesak manusia. Mencoba meneguhkan langkahku berangkat ke ibu kota, merebut terang cahaya itu.

***

Tak bisa kupahami lagi, antara aku bergumam, atau merintih menahan pedih di sekujur tubuh. Yang pasti telah kulihat ibu di sudut ruanganku. Ruangan serba putih. Aku berusaha berdiri, tapi tak kuasa. Badanku ringkih dan terjatuh lagi. Ibu bercucuran air mata. Menyaksikanku terkulai tak berdaya.

Baca juga: Soesilo Toer, Ziarah Literasi

“Ibu, maaf aku tidak bisa pulang. Aku tidak tahu ada di mana ini,”.

“Nak…ayo kita pulang. Ayo pulang bersama ibu,”.

“Ibu aku takut ada bayangan gelap dan tegap. Mereka menyiksaku. Mereka yang merebut terang cahaya kita. Mereka yang menguasai tanah lapang di desa kita,”.

“Jangan takut nak. Ada ibu di sini. Ayo kita pulang. Besok sudah Paskah,”.

Suara ibu kurasakan begitu lembut. Mengusap setiap luka di tubuhku. Aku tertidur di pangkuan ibu. Kulihat lagi ruangan ini serba putih.

“Ini bukan rumah kita ibu,”.

“Tidak nak. Ini rumah kita. Tidurlah,”.

Sayup-sayup kudengar suara ibu lirih, membacakan doa Rosario. Air matanya menitik, membasuh luka-lukaku. Lembut penuh wewangian…

“Di sini aku pulang bu?”.

“Iya nak. Ini Paskah kita, yang selalu terang bercahaya. Di sini kita pulang,”.

 

(Editor: Iman Suwongso)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *