Laki-laki dalam Kamar

Laki-laki dalam Kamar. Foto/canva.com

Setiap malam, aku mendengar tangis begitu khusyuk dari sudut kamarku yang sempit. Tangis yang dirajut dengan doa-doa dan wirid panjang. Doa Ibu untukku.

Baca juga: Eunoia

Aku merasa heran, mengapa Ibu begitu kerasnya memohon pada Tuhan untuk keselamatanku, dan menutup doanya untuk kesehatanku. “Ya Allah kembalikan anakku, kembalikan,” permohonan yang terus-menerus diulangnya dengan nada bersedih.


Aku tahu bahwa doa seorang Ibu itu begitu luar biasa. Namun, jika doa itu terus-menerus diulang, bisa saja Tuhan bosan mendengarnya. Apalagi, aku merasa baik-baik saja

Bukankah seharusnya Ibu bangga padaku?

Aku komandan dari ratusan orang yang akan berperang sebentar lagi. Aku akan menjadi pelaku sejarah bangsa ini. Jika pun aku mati dalam perang nanti, aku akan syahid. Apa karena Ibu tahu jika sebentar lagi aku harus berangkat ke medan tempur, sehingga membuatnya begitu sedih?

Cahaya lampu kamarku terasa lebih redup. Tidak ada cahaya bulan yang menerobos lewat jendela. Desingan senjata api itu bersahutan di dalam kepalaku. Aku segera memenangkan pertempuran ini. Ibu, aku berangkat. Gumamku.

***

“Kau!,” aku menunjuk salah satu anggota pletonku, Broto, “sebelum Subuh, kumpulkan empat puluh orang dan berangkatlah ke Kalimas!”

Baca juga: Mee, Namaku (13)

“Siap Ndan!” Broto memberi hormat. Ia segera bergerak cepat ke tempat yang aku perintahkan.

Aku memberi tanggungjawab kepada Broto tanpa ragu. Dia memang salah satu anggota pasukan yang tangguh.

“Kau dan kau!” tanganku menunjuk Darman dan Parjo yang sibuk di perapian dengan tangan dan mulut penuh ubi bakar.

“Siap Ndan!” jawab mereka. Mulutnya terburu-buru menelan ubi bakar.

“Bawa beberapa orang untuk berjaga di Rumah Sakit Darmo. Tengah malam nanti akan ada bantuan dari selatan untuk memperkuat kelompok kita di sana!” perintahku.

“Siap Ndan!” jawab kedua bocah yang masih belasan tahun itu.

Ah, untuk sekedar merdeka, mereka memilih bergabung kelompokku dengan keyakinan merdeka sepenuhnya. Meskipun harus kehilangan masa remajanya. Meskipun bersenjata api rampasan. Mereka begitu naif.

Entah, malam ini, rasanya begitu sangat panjang. Aku masih harus memberi perintah kepada seluruh pasukanku. Tidak boleh gagal. Satu-satunya yang ada dalam kepalaku; merdeka sepenuhnya.

“Kau, kumpulkan sisa pasukan kita! Kita berjaga di sekitaran Jembatan Merah,” perintahku pada Azis.

“Bawa pistol ini!” perintahku selanjutlanjutnya.

Baca juga: Anak Kecil yang Tak Merajuk

Kami semua terus terjaga, berdamai dengan lelah dan angin malam kota S yang saling berdansa.

Satu dua orang pasukan kami mulai terlelap. Aku tidak tega memaksa mereka untuk tetap terjaga. Mereka tidak tidur berhari-hari, menjaga kami yang membuat peta pertahanan dan serangan setiap malam.

Sekutu sungguh keparat. Mereka tidak sudi kami merdeka.

“Hei, kau! Siapa namamu?” tanganku menunjuk ke pemuda berkumis dengan peci hijau yang miring.

“Tomo, Ndan!” jawabnya tegas. Suaranya sangat renyah, tidak berat seperti suaraku. Mungkin karena tidak merokok.

Aku memberi tugas padanya. “Mo, berangkatlah ke kota M dan kota J. Sampaikan pesanku pada semua orang yang mendukung kita, bahwa kita perlu lebih banyak tambahan pasukan untuk bertahan,”.

“Siap, Ndan!” ucapnya singkat.

Dengan gesit Tomo bergerak. Dalam langkah lelahnya, dia sangat percaya diri dengan sangkur di pinggang kanannya dan pistol pemberianku.

“Hei Mo, sebentar,” teriakku.

Tomo menoleh lalu membalik badannya.

“Ada perintah, Ndan?”

“Setelah kau berkabar dari kota M dan J, pergilah ke Bekupon, dan buat orang-orang tahu perjuangan kita,” kataku pada Tomo memberi tugas tambahan.

Baca juga: Tato Kecoak di Punggung Telapak Tangan

Tanpa jawaban dan hanya tangan kanannya yang memberi hormat, Tomo bergegas melaksanakan perintah. Dia bersama tiga temannya berangkat ke kota M dan J. Langkahnya begitu cepat. Semoga mereka memberikan pesanku itu tepat waktu.
Belum selesai mataku melepas Tomo, salah satu mata-mataku datang dengan langkah tergesa.

“Lapor, Ndan!” katanya dengan tangan gemetar. Pemuda Madura ini tidak seperti biasanya, wajahnya terlihat pucat.

“Ada apa?” jawabku.

“Sekutu ngamuk Ndan. Mereka membawa tank puluhan,” jawabnya masih gemetar.
Aku tidak pernah melihatnya setakut ini. Keberanian dan nekat khas Maduranya hilang hanya karena melihat tank-tank sekutu?

“Saya hampir mati, Ndan. Mereka menembaki semua orang. Tukang semir, tukang becak, tukang rosok, bakul kopi, dan semua yang mereka pergoki. Mereka menembak ke segala arah tanpa pandang bulu, Ndan,” ucapnya dengan dahi penuh keringat sebesar kepinding.
Sejenak aku terdiam. Isi kepalaku terasa sesak, berdesakan. Aku mencoba menenangkannya.

“Tenang saja. Kau masih hidup kan?” kataku.

Aku mencoba tetap tenang di hadapan pasukanku. Membesarkan hati mereka agar tetap siap bertempur walau dalam ketakutan. Wajahku tetap tenang dan suaraku lantang. Aku harus tetap terlihat kasar.

“Tidak, ini masih dalam rencana awal. Sekutu tidak akan tahu rencana kami ini. Aku hanya perlu menjalankan rencana ini dan memberi perintah kepada pasukanku,” pikirku.

“Kau! Cepat cari Kasmin dan mata-mata kita yang lain, kumpulkan informasi dari mereka,” perintahku pada Darmaji.

“Mon, kau tenang saja duduk di sini,” aku memberi Momon kretek untuk menenangkannya.

Aku melihat ke arah utara. Langit malam yang mendung terlihat memerah.

“Sungguh, Momon tidak membual. Sekutu memang sedang ngamuk,” batinku.

“Aku harap si Tomo tepat waktu. Semoga pasukan di kota M dan J bersedia memberi bantuan pada kami,” harapku. Mataku menatap langit.

Baca juga: Soesilo Toer: Pram Itu Ideologinya Kebebasan

Subuh belum datang. Dentuman-dentuman keras semakin mengganggu telingaku. Pasukanku bersiap dengan pistol, pisau, bambu, dan apa pun yang bisa melindungi dirinya. Doa di pagi ini seperti rapalan kosong, tidak ada makna jika tanpa keberanian nyata kami. Merdeka atau mati!

“Kawan-kawan di Darmo diserang!” teriak Darman dengan berlari. Pakaiannya basah dan percikan darah di lengannya.

“Kacau, bantuan belum juga datang, dan serangan sudah mulai,” pikirku.

Saat subuh tiba suara adzan bersaing dengan dentuman tank-tank sekutu.

Ah…, persetan dengan bantuan!

“Serang balik!” perintahku.

“Jangan takut mati, cepat atau lambat kita juga akan mati,” teriakku lantang.

“Jangan kecewakan mereka yang mati lebih dulu demi kita,” teriakku membakar keberanian pasukan.

Teriakanku makin menggema. Namun, pandanganku semakin buram tertelan merah subuh itu. Tembakan dan dentuman makin memburu.

Dor…

Dor… desing… dor….blaaar…

“Jangan lari, maju!!!” teriakku pada pasukanku.

Duuppp…

Ada yang menembus dadaku, perih… Tidak, aku harus tetap berteriak.

“Azis, tembak itu! Tembak keparat itu!” teriakku.

Teriakan terakhirku.

Aku adalah salah satu komandan pertempuran sepuluh november. Jika si Tomo hanya berteriak-teriak saja di radio bekupon, maka akulah orang yang mengatur strategi serangan di jembatan merah itu. Aku pula yang memaksa Aziz menembakkan pistol pada Mallaby.

Dor…

Dor…

Dor…

Tiga tembakan dari pistol Azis cukup untuk menghukum sekutu jahanam itu.

Peluru itu telah menembus tulang tengkorak Mallaby dan membuatnya mati di tempat. Seketika pasukan sekutu kocar-kacir, seperti gerombolan semut yang kehilangan gula-gula. Kesempatan tiba. Kami habisi sekutu jahanam itu dengan pistol, arit, bambu runcing, dengan apa pun senjata yang kami punya. Kami membabi buta dengan amarah, dengan teriakan takbir, dan saling membakar semangat untuk benar-benar menumpas mereka.

Dalam terik yang mulai aku rasakan di sekujur tubuhku. Samar aku melihat Azis merobek warna biru bendera itu.

***

Mungkin sejarah tidak pernah menuliskanku. Mungkin sejarah hanya peduli pada mereka yang dianggap mewakili. Mungkin sejarah hanya mencatat siapa-siapa saja yang berteriak, hanya berteriak saja!

Baca juga: The Scarlet Letter: Sebuah Kisah Tentang Dosa, Penebusan, dan Pilihan Hidup

Ah…sudahlah, yang terpenting sekarang kami bangsa yang merdeka. Persetan dengan nama-nama dalam buku-buku sejarah. Namun aku ingin katakan sekali lagi, bahwa aku adalah komandan dalam pertempuran itu.

Dan aku telah menyelesaikannya.

Aku mendengar samar suara Ibu sesenggukan di luar kamar. Sepertinya sedang menahan tangis. Aku keluar dari kamarku, menyapa Ibu.

“Ibu….”

Ibu tidak menjawab. Tangisnya tertahan. Aku memaksa, “Ada apa Bu?”

Ibu tetap tidak menjawab.

“Apa Ibu mendengar ucapan para tetangga lagi?” tanyaku mengejar.

Ibu mengangguk. Ucapannya lirih, “Sampai kapan kau akan begini nak?”

Aku sudah berkali-kali menjadi buah bibir. Orang-orang menganggapku aneh, gila, dan tanpa masa depan. Aku tidak peduli. Aku selalu mendapatkan apa pun dalam kamarku. Aku baru saja selesai menjadi komandan perang sepuluh november. Nanti, aku akan menjadi seorang tuan tanah dengan kekayaan yang dapat menutup mulut mereka.

“Bu, Ibu tidak tahu,” jawabku pada Ibu.

Tidak ada jawaban lagi, selain tangis yang ditahan oleh Ibu.

Nganjuk, November 2024 – Februari 2025

 

(Editor: Iman Suwongso)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *