
Batang kayu raksasa menjulang ke bibir tebing seperti sedang menunjuk bibir kawah yang diameternya lebih dari lima kilometer. Dari batang kayu itu, ke bibir kawah, dipisahkan oleh bentangan savana laksana permadani yang luas. Batang kayu yang sangat besar dan punggungannya menyerupai pelataran itu seperti hanya sebesar kelingking saja dilatari padang savana. Kenyataannya, ketika Asasi berjalan dari pangkal kayu (yang masih menancap ke tanah) menuju ujung batang yang telah patah, seperti sedang berjalan di jalan raya. Tidak ada rasa goyah dan khawatir akan terpelest masuk ke jurang.
Baca juga: Mee, Namaku (11)
Asasi tahu, kapan duduk di ujung kayu yang rebahnya sedatar tanah itu. Ketika badai telah reda dan langit berhias bianglala yang ujungnya menelusup masuk kepulan asap kawah. Angin semilir menggoyang-goyang gaunnya yang ditenun dari serat daun pandan. Ia duduk mencangkung menghadap kepulan asap yang menyisakan bau belerang di syaraf hidungnya. Baunya segar, sesegar rumput-rumput hijau savana setelah dibasuh hujan.
Ia duduk tidak sekedar duduk. Tidak pula sekedar healing memandang hamparan hijau rumput, lautan pasir, asap menari, awan biru, pelangi, dan desir suara cemara ditingkap angin. Sebentar kemudian, selalu diikuti seseorang yang menyusul duduk di sebelahnya. Seseorang yang selalu telanjang dada pada udara yang menerkam di bawah sepuluh derajad. Seseorang yang kadang tidak jenak duduk. Tiba-tiba dengan gerakan gesit berdiri dan berjalan ke ujung patahan kayu. Kaki kanannya ditumpukan pada lapis kayu yang berundak, lututnya menekuk enam puluh derajad. Tangan kanannya menumpu pada lututnya, sehingga tubuhnya agak doyong ke depan. Matanya tajam memandangi ke kejauhan sana; kadang ke pusaran kawah, kadang ke hamparan rumput dan pasir, kadang ke bibir tebing di seberang, kadang ke langit yang birunya laksana sutera.
Kemudian duduk lagi di sebelah Asasi. Sesekali memandang perempuan itu, dan Asasi membalasnya dengan tolehan sesaat. Saat ia merasa gelisah, ia beranjak kembali ke ujung kayu dan bersila dengan memejamkan mata. Pertemuan yang susah diduga siapapun. Mereka tenggelam di anjungan kayu bersama matahari yang angslup tepat di seberang pusat kawah.
Tetapi hari itu, Asasi amat gelisah. Ia tak pernah jenak duduk seperti hari-hari yang telah berlalu. Seperti ada bara api di pantatnya. Hitungan waktunya tidak sampai beberapa goyangan dedaunan, ia berdiri lagi. Berjalan sampai ke paling ujung anjungan kayu raksasa itu. Bianglala seindah pesisir sorga tidak membuat matanya melekat pada selendang warna-warni itu. Apa lagi pada bunga-bunga ilalang yang melenggak-lenggok. Ia membuang pandangannya ke tempat lain. Dan membalikkan badan, berjalan menyusuri punggung kayu raksasa. Sampai pada pangkal pohon yang akarnya menjulang, ia ragu untuk melanjutkan langkahnya menginjak tanah. Ia berbalik dan berjalan tergesah. Badannya oleng. Kakinya terpeleset. Ia terjatuh dan terperosok ke pinggiran kayu. Beruntung, jemarinya masih bisa mengait pada kulit pohon yang masih lengket.
Kakinya bergelantungan di jurang tebing. Ia tidak terburu-buru mengangkat tubuhnya untuk sampai pada permukan kayu. Diam saja, seperti orang sedang tidur tengkurap di atas kasur. Seperti tidak mau memutuskan akan naik ke permukaan kayu atau melepaskan diri dan terjun ke dasar tebing.
Ia bergerak tidak begitu kentara. Hanya mata teliti yang tahu, semula tanganya lurus kaku ke atas dan ujung jarinya mencengkeram kulit kayu. Ada gerakan yang amat lambat pada lengannya sampai menekuk dan sikunya melipat membentuk sudut yang lancip. Pelan sekali, sampai asap yang menguap dari dasar kawah menyebar di angkasa berbaur dengan warna langit. Pada gerakan terakhir, ia melompat dengan kecapatan kilat.
Baca juga: Soesilo Toer: Pram Itu Ideologinya Kebebasan
Sesampai di atas kayu, ia duduk. Kakinya menjuntai ke arah jurang. Kedua lengan bersisihan dengan tubuhnya menopang di permukaan kayu sampai kedua pundaknya terangkat, dan lehernya seakan mengkerut. Kepalanya menengok ke kanan ke kiri, laksana kepala kura-kura yang baru keluar dari cangkangnya. Lagaknya seperti orang sedang santai saja, di bangku taman kota.
Pada tengokan ketiga, kepalanya menoleh ke jalan setapak. Ketajaman matanya menerobos tetumbuhan perdu yang memagari jalan. Bibirnya mengembang tipis. Ada yang menyenangkan di dalam hatinya. Senyum misterius, seakan di dalam kepalanya telah menangkap gambar-gambar yang melintasi waktu.
Asasi beranjak, dan bersila di ujung anjungan kayu ketika matahari tinggal sedepa saja di atas garis bumi. Matanya terpejam. Nafasnya diatur selambat mungkin, seakan tidak ada lagi udara keluar masuh pada rongga hidungnya.
*
Ini bukan gubuk. Tetapi kanopi daun-daun pohon gitung yang batangnya melambat besar. Kanopi itu menaungi batu vulkanik yang menjorok di tebing. Barjasa duduk mencangkung, matanya memandangi lembah yang ujungnya tidak lain adalah kaki tebing di seberang. Hujan turun mengurungnya di anjungan ini.
Ketika hujan makin lebat, ia amat gelisah. Ia sebentar-sebentar melongok ke jalan setapak menanjak menuju naungan kanopi ini. Ia hanya mendapati kaki-kaki hujan melompat-lompat di atas tanah dan menggoyang-goyang rerumputan. Kemudia air mengalir menganak sungai sampai jauh di ujung jalan setapak. Seseorang yang diharapkan datang tak terdengar kecipak kakinya. Jejak lumpur yang tergambar pada kepalanya terhapus oleh aliran air.
Ketika hujan reda, ia berharap seseorang itu mengejutkannya. Gaun seseorang itu, yang dibuat dari tenun daun pandan, tidak membekas basah air hujan. Sekalipun habis dilanda hujan lebat. Seseorang itu, selalu punya cara untuk dapat menyelamatkan dirinya, sekalipun dari puncratan kecipak air.
Baca juga: Clurit Sakerah
Tetapi, kegundahannya tidak bisa ditutupi dengan pandangan segar rumput-rumput dan pepohonan. Matanya memandang kehijauan yang dibentangkan alam, tetapi jauh di kedalaman matanya hanya ada seseorang yang ditunggunya itu. Seseorang yang pada hujan lebat suatu kali didekapnya dalam payungan kanopi. Dekapan menghangatkan sampai hujan reda dan bianglala menaunginya. Bianglala yang ujungnya menelusup pada kepulan asap dari dasar kawah. Dekapan membuat tumbuhan-tumbuhan terkesiap, menahan terpaan angin agar ketenangan merayakan yang abadi. Mereka menahan bunyi, selain suara kecipak air melantunkan irama tarian surgawi.
Angin yang telah menyapu air sisa-sisa hujan, tidak juga memberikan kenyataan seseorang itu hadir di sampingnya. Ia menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskan dengan kuat, membuang kecemasan dari dalam dadanya. Tetapi ia sudah terlatih menenangkan diri, menemukan jalan dari kekuatan naluri.
Sampai pada saatnya, matahari tinggal sedepa saja di atas garis bumi. Barjasa beranjak, dan bersila di ujung anjungan batu vulkanik. Matanya terpejam. Nafasnya diatur selambat mungkin, seakan tidak ada lagi udara keluar masuh pada rongga hidungnya.
*
Asasi dan Barjasa, dua sejoli saling berkasih, dengan caranya yang masih purba. Mereka telah menurunkan darah daging padaku. Aku turunan ketujuh darinya. Aku berkisah tidak dari pendengaran. Tetapi aku masih menyaksikan pertemuan mereka di anjungan kayu raksasa itu, yang sekarang telah memfosil menjadi batu.
Peristiwanya selalu berulang-ulang. Juga tentang drama saling menunggu itu. Asasi bergaun tenun daun pandan menunggu dan gelisah di fosil kayu raksasa itu. Barjasa terjebak hujan lebat di kanopi daun gitung yang menaungi anjungan batu vulkanik.
Aku memandangi laki-laki bertelanjang dada di bawah kanopi yang gelisah saat hujan melanda. Saat aku mendesiskan sebutan namanya dalam hujan, ia menoleh kepadaku. Ia mencari-cari aku, tetapi ia tidak tahu dimana aku.
Baca juga: Semut-Semut Budaya
Aku memandangi perempuan bergaun tenun daun pandan, melintasi jalan setapak menuju fosil kayu raksasa. Perempuan yang gelisah menunggu. Aku memekik memanggilnya ketika ia hampir jatuh ke jurang di pinggir fosil kayu raksasa. Ia bertahan menggelantung sambil melirikku. Matanya mencari-cariku, tetapi ia tidak tahu dimana aku.
Setelah matahari tinggal sedepa dari garis bumi menggelincir ke bawah, laki-laki bertelanjang dada, Barjasa, kakek moyang memacu kuda menuju anjungan fosil kayu raksasa, hembusan anginnya menabrakku. Aku terpelanting.
Aku melihatnya dengan tubuh tengkurap ketika kudanya menanjak pada jalan setapak. Lompatan kuda diantara akar-akar menjulang. Kecepatannya seperti kuda terbang. Tetapi, yang dia tidak tahu, dan aku melihatnya, Asasi, perempuan bergaun tenun daun pandan, nenek moyangku, telah meniggalkan anjungan fosil kayu raksasa sekibasan angin pada daun cemara sebelum Barjasa datang.
Barjasa sampai di anjungan fosil kayu raksasa sudah lengang. Hanya kayu raksasa yang membatu diterangi matahari yang sudah mulai angslup. Teriakan kegundahan Barjasa menggema; menggoyangkan pohon-pohon, menggetarkan tanah yang basah, meretakkan bebatuan di tebing-tebing. Teriakan sejoli yang tak bertemu simpulnya. Aku meriang mendengarkannya.
Baratus tahun lalu, teriakannya itu memuncratkan magma dalam perut bumi.
Tawangmangu, Samaan, 1 Februari 2025, 23.59
Luar biasa ..