Akhir Cerita Kota

Akhir Cerita Kota. Foto/Ilustrasi/canva.com

Ringkik turangga mengepung telinga, menyisakan tanya tentang layu rerumputan di tepian roda kereta pasukan berkuda…

Bunyi sirine berhamburan, menyeruak, menyaput malam membangunkan hening…

Tombak , panah , trisula meminta tumbal mencari muara darah… roket, bom sesekali menyalak, lalu entah kenapa, senyap…

Orang-orang berbaju besi mengayunkan pedang, mengabarkan titah mencabut nyawa…
Gelap melanda, terang menghilang, kota kehilangan digdaya…
Lumpuh jadi niscaya, kobaran api di mana-mana

Tampak bayangan putih berjalan tertatih, sedepa demi sedepa, menggenggam lentera tanpa nyala…
“Mereka dari abad terdahulu, tak perlu sembunyi, jadilah saksi pertempuran ini”
Anyir darah menyengat, tanah kota memerah memanggang nyawa…
Sisakan satu nyawa, penyaksi kemenangan patriot awal masehi…
Kota tertunduk, rudal mesiu merintih ditindih ribuan pedang yang tegak menghujam…

Di langit samar terbaca, “Tak perlu kota jika sombong menjelma”

Sawangan, 18 Juni 2025

Baca juga: Perginya Sang Pendamai

Entah

Kapan pulang?
Besok…
Tiga puluh hari berlalu, langit menghitam tak lagi biru

Katanya mau pulang?
Iya, lusa…
Sembilan puluh hari berselang, ayam, bebek mati , sawah di kampung mengering

Kabar pulang menghilang senyap…
Beton kota mandulkan hati…
Bersama gemerlap lampu yang tenggelamkan kunang-kunang…
Lupalah tuan akan kampung halaman..

*

Lima belas purnama terlewat, rindu membatu…
Dan kau masih di situ, menatap tajam jeruji besi…
Kapal terakhir telah pergi, pisau masih menancap di lambung penantangmu…
Pelabuhan berdarah membawamu ke ruang dosa …

Kapan pulang?
Tak bisa ia menjawab, samar terbayang wajah hakim mengayun palu dan sang jagoan yang ia habisi nyawanya…

Kapan pulang?
Entah…

Sawangan, 18 Juni 2025

Baca juga: Mee, Namaku (32)

Oma & Duri

Renta tubuh merenda hari terhuyung-huyung kaki menapaki bumi…

Dia menuai cibir, disebut penuh drama, menjual air mata dan bla..bla..bla…

Teringat saat purnama datang, kau berteriak ‘bulan penuh berduri’, sejak itu orang-orang pergi menjauh, kau pun terbuang terpasung sepi…

Dan pagi itu, kau menangis disaksikan burung emprit juga kucing kumal berkaki pincang…

Apa gerangan yang terjadi? Dia hanya diam, matanya basah, lalu langit pagi tiba-tiba meredup…

Setumpuk duri melesat ke langit, dibawa angin bersulang kecewa…

Tubuh renta penuh air mata itu adalah oma, ia menggigil, teringat lisan parau dari anak muda yang menghinanya…

Saat kepalanya menengadah, rembulan dan matahari terlihat ‘dampit’ terkurung duri…

Sawangan, 24 Juni 2025

Baca juga: Pulang


(Editor: Iman Suwongso)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *