Mee, Namaku (14)

Mee, Namaku (14). Foto/Ilustrasi/canva.com

Pada larik-larik tayangan sebelumnya, tentang perlakuan pada anak perempuan; tiada guna. Kelanjutanya di Bagian 3, di tayangan berikut. Baca juga: Mee, Namaku (13)

Bagian 3

Aku Bukan Anak Bodoh

14

sekalipun aku tak punya masa depan
aku bukan anak yang bodoh
aku masih punya harapan
suatu saat nanti bisa menjadi tokoh

aku mulai masuk sekolah
berangkat pagi pulang siang
tempatnya tidak jauh dari rumah
hanya tinggal nyeberang

menurut usia aku terlambat
masuk Taman Kanak-kanak Cung Wa
tempat anak-anak Tionghoa
masing-masing masih ada hubungan kerabat

Baca juga: Tato Kecoak di Punggung Telapak Tangan

di Cung Wa sebenarnya banyak bermain
sebagaimana sifat anak-anak
tidak lah beban terlalu sesak
riang gembira sebanyak mungkin

Cung Wa bukan sekolah umum
bahasa yang digunakan Bahasa Tionghoa
tidak perlu aku sampai dibawa melamun
karena di rumah sudah terbiasa
terbiasa menggunakan bahasa nenek moyang
selain menggunakan Bahasa Jawa
bahasa para perantau sebagai pedagang
bahasa asal dan bahasa orang-orang tempat kami berada

aku tak kenal Bahasa Indonesia
bahasa asal karena orang tua
Bahasa Jawa karena Mbok Bi’ah

di sekolah murid-murid belajar bahasa
Mama-mama pengantar
bergerombol berbicara orang dewasa
saling mengunggulkan anaknya yang pintar

aku tiada Mama
tiada sekalipun berkumpul diantara mereka
tak pernah mengantar sekolah
kesibukannya hanya bekerja

aku tidak pernah peduli
sekalipun aku sendiri
tak pupus rasa berani
para pengganggu di sekolah aku ladeni
tak peduli dia laki-laki

Bu De mengantar sampai pintu gerbang
dia selalu berpesan, jangan nakal
apakah itu ungkapan sayang?
apakah aku bertampang seperti berandal?
tapi di sekolah aku merasa senang
itu sebabnya aku menjadi mudah menghafal

Baca juga: Laki-laki dalam Kamar

guruku cece-cece masih muda
ia suka bercerita
ceritanya selalu terkesan
sampai aku tak pernah lupa pesan
dalam cerita
yang aku dengar tak pernah bosan

pelajaran menyanyi, setiap hari
kadang diikuti dengan menari
aku selalu memilih di depan, laksana dewi
keberanianku selalu dipuji
meskipun ada temanku yang suka iri

apakah surga itu di sediakan di Cung Wa
tempat terkabulkan permohonan pada dewa?
kesedihanku berganti penuh tawa
terhapuslah dalam pikiranku tentang Papa-Mama
tapi begitlah, kalau aku kembali ke rumah
aku seperti masuk kembali dalam neraka

kalau pulang aku sembunyi-sembunyi
menghindari peran ratapan anak tiri
kadang aku mengajak kakak-kakak misan
agar bisa segera kembali main pasaran

hari-hari sekolahku gembira selalu
waktu berputar sangatlah cepat
membawa hukumnya; kesenangan cepat berlalu
penderitaan menempel lekat

cece-cece muda guruku
suatu saat kita bertemu
kalian malaikat yang menyaru

di Cung Wa aku belajar
bermain berbahasa moyang
membekas sampai aku besar

(Bersambung)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *