
Ngon bismillah phon mulaan
Nama Tuhan zat nyang Esa
Lon peuphon ngon nama Allah
Nyang that murah lagi kaya
Sifeuet Tuhan nyang that kadim
Rahman rahim that mulia
Alhamdulillah pujoe Tuhan
Dum sikalian keu Rabbana
Sepenggal bait-bait prosa liris hikayat Indra Bangsawan, karya Tihawa Arsyandy begitu penuh makna. Karya sastra berbahasa Aceh tersebut, bercerita tentang seorang raja di negeri Syahri Kubat, dan istrinya Kande Laila, yang sulit dikaruniai keturunan.
Baca juga: Bilangan Fu; Pertarungan Nilai-Nilai Tradisional dan Modern
Pasangan raja dan permaisuri ini, akhirnya dikaruniai keturunan setelah membagikan sedekah kepada para fakir miskin. Mereka memiliki putra mahkota kembar, yakni Banta Syahpari, dan Indra Bangsawan. Saat lahir, masing-masing memegang pedang dan panah sakti.
Tihawa selain memiliki keahlian mengarang, juga sohor sebagai seorang teungku (ulama), mengajar ilmu agama. Ia juga dikenal sebagai orang yang dapat menyembuhkan masalah santet, teluh, dan kesehatan mental. Sebagai pribadi, masyarakat mendefinisikan Tihawa sebagai wadam (wanita adam).
Hal inilah yang membuat sastrawan asal Aceh, Azhari Aiyub menjuluki pemilik nama lengkap Teungku Nyak Tihawa Arsyady tersebut, sebagai pendekar sastra abad ke-20 dari Aceh. Julukan pendekar sastra untuk Tihawa tersebut, diungkapkan penulis novel “Kura-kura Berjanggut” (2018), saat menjadi pembicara dalam forum Borobudur Writers and Cultural Festival 13th di Jambi.
Azhari memberi sebutan akrab Sang Pendekar dengan Nyak Ti. Tetapi, dalam pesan daring, seorang milenial Aceh menulis, “Nama penulis ini Tihawa saja. Nyak itu panggilan buat anak perempuan. Dalam arti, panggilan manja dan sayang. Di Jawa mungkin kayak panggilan, nDuk,”.
Tihawa lahir dan hidup di Bireuen tanpa diketahui tanggal, bulan, dan tahunnya. Tetapi dapat diperkirakan lahir tahun 1936. Ia berpulang pada 15 Oktober 1996, saat berusia 60 tahun.
Baca juga: Mee, Namaku (5)
Bireuen, merupakan wilayah dengan tradisi yang dibentuk oleh masyarakat yang gigih berniaga dan membangun pendidikan yang terbaik se-Aceh. Pada 5 Mei 1939, di Bireuen didirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang salah satu tujuannya memajukan pendidikan. Saat itu Bireuen masih kota setingkat kecamatan.
Dengan situasi sosiologis daerahnya, perempuan pengarang kita ini karyanya beredar secara berkala dan terus-menerus di Aceh. Ia menjual buku-bukunya kepada para pedagang atau siapa pun yang sedang berada di pasar. Ia berkeliling bersepeda.
Kehidupannya sendiri, diketahui dari mulut ke mulut. Dari gosip. Bukan dari kisah yang ia tulis. Ia pun tidak bercerita kepada seseorang ihwal dirinya. Soliter sejati.
Tihawa menulis dalam bahasa Aceh. Proses kreatif Tihawa dengan menulis tangan menggunakan huruf Jawi, kemudian mengetik dalam huruf Latin. Kabar yang diterima Azhari, karya-karya Tihawa ditulis dengan melibatkan suatu ritual pribadi: merokok dan menggunakan wewangian tertentu merk Camelina atau Fanbo.
Ritual? Tidakkah berlebihan disebut demikian? Tetapi, sudahlah. Dua merk yang disebut sebagai wewangian itu memang populer di generasinya. Nenek kami pun menggunakan Fanbo juga.
Keluarga besar Tihawa bahkan percaya ada kekuatan gaib menyertainya dalam menulis. Utamanya saat menulis epos Raja Jeumpa. Tanpa referensi. Tanpa bacaan apapun. Sedangkan teknik kepenulisan, Tihawa memiliki keunikan dan keseruannya sendiri. Ia senang berdendang atau berhikayat ketika menulis. Cerita Azhari.
Karya-karya Tihawa, diterbitkan oleh Mahmudiyah. Belakangan, menjelang ia berpulang, diterbitkan Radar Pos. Kedua penerbit itu sudah tak beroperasi lagi sekarang. Keduanya beralamat di Bireuen dan mencetak naskahnya di Medan, Sumatra Utara.
Baca juga: Tarian Hitam
Karya Tihawa yang diterbitkan, antara lain berjudul Kisah Indra Budiman, bagian pertama sampai keempat (1969 – 1981), Hikayat Indra Bangsawan, terdokumentasi bagian kedua dan ketiga dan terbit pada 1981, tanpa bagian pertama. Lalu buku Raja Jeumpa Meukawen Ngan Meureudum Rakna, yang diselamatkan tanpa tahun dan tanpa catatan penerbit. Terakhir Hikayat Beureuman Sakti, bernasib serupa dengan yang sebelumnya. Tanpa nama, alamat dan tanpa tahun terbit.
Posisi penting kepengarangan Tihawa dalam khasanah sastra Aceh, dapat dilihat dalam beberapa tanda. Pertama, memadukan tradisi lisan pra Islam yang kuat dan era sastra Aceh yang berkembang tatkala masuknya Islam ke Nusantara.
Tihawa hadir dalam karya-karya berbahasa Aceh pada era 1960-an, hingga 1990-an. Karyanya berbentuk prosa, dan mengikuti persajakan sebagaimana tradisi lisan maupun hikayat. Bentuk ceritanya berupa epos yang syarat petualangan dengan kisah serial. Seperti kisah yang ditulis Asmaraman Kho Ping Ho Sukowati.
Kedua, penggunaan bahasa Aceh, tidak hanya dituangkan dalam abjad Latin saja, juga menggunakan huruf Jawi. Hikayat yang ia susun menggunakan dua titian huruf.
Ketiga, pada saat membaca dan menuturkan hikayat masih dominan di Pidie pada era 1980-an yang diadakan di gampong atau di balai desa. Pembacaan yang emosional. Pada situasi itu Tihawa melahirkan karya-karyanya dari era lisan menuju karya sastra tulis. Susunan dan strukturnya dapat dianalisa secara tekstual.
Keempat, ketika sastra lama berbahasa Melayu didominasi laki-laki seperti Hamzah Fanzuri dan Ar-Raniry, dan pengaruh Tun Sri Lanang dari Semenanjung Malaya. Tihawa dikenal sebagai satu-satunya perempuan penulis berbahasa Aceh pada era 1970-an hingga 1990-an.
Baca juga: Tetangga
Kelima, Tihawa ada dalam atmosfer masyarakat yang meragukan individualitas positifnya, meskipun juga sebagai teungku dan tabib. Selain dianggap dibantu peri, identitas gendernya dipertanyakan hingga dianggap memiliki preferensi seksual yang tidak terdefinisi secara jelas. Hal yang sulit dipahami banyak orang di era itu.
Kalau Marjin Kiri, 2021, merilis 10 perempuan penulis “Yang Terlupakan yang Dilupakan” barangkali perlu menambahkan Nyak Ti, Tihawa Arsyady sastrawan dari Aceh. Atau juga “Nyak Ti-Nyak Ti” lain yang belum muncul pada bentangan Nusantara.
Turen, 17 Desember 2024