
Dalam satu tarikan nafas,
Cerita baru terwujud.
Suara lirih ditiupkan.
Menghembus lembut dalam rahim.
///
Cerita yang terlipat,
Mengurai dalam riak pikiran.
Hanya ada harap,
Yang tergulung dalam semoga,
Berulang-ulang.
///
Ada yang ditumbuhkan,
Dengan merapal.
Ada yang dihidupkan,
Dengan menengadah.
Ada yg dihilangkan,
Dengan tiba-tiba.
///
Pasrah!
Baca juga: Penyair dan Penyu Air
Doa
Tuhan,
Aku mendengar doa dari balik kamar.
Lalu,
Saat angin timur akan membawanya,
Aku mencurinya.
Aku usap, dan aku ubah nama dalam doa itu.
Aku titipkan kembali pada angin itu, yang entah akan membawanya kemana.
Andai,
Aku berdosa,
Aku rela dengan dosa,
Dosa karena mencuri doa,
Dosa karena mencuri kata-kata.
Asing
Jejak itu masih terlihat
Semakin pudar
Tersapu
///
Suara itu masih menggema
Lirih
Lalu; berlalu
///
Aku masih melihat,
Tumpukan cerita yang mengingatkan.
Tercecer,
Berserak,
Lepas; terkelupas
///
Sekarang,
Tidak ada sapa
Hanya firasat,
Hanya harap; semoga.
Baca juga: Penjaja Panggung
Mata Angin
Dari utara, juga selatan
Suara doa bersahutan,
Dingin,
Sayup,
Lembut,
Menenangkan.
///
Dari timur,
Suara teriakan lantang,
Mengutuk,
Tangisan,
Kehilangan,
Meludahi.
///
Dari barat,
Jauh lebih lantang,
Suara yang penuh sesak,
Berbaris rapat,
Membual.
Baca juga: Di Warung Kopi
Rumah Lain
Sering,
Aku mendengar Ibu mengetuk pintu kamar.
Membangunkan awal cerita,
Mengurai pesan.
Menghidupi.
///
Kadang,
Aku mendengar bapak bergumam.
Berjalan mengisi cerita.
Bersiap,
Dengan alasan,
Dengan tujuan.
///
Lalu,
Aku hanya sibuk mengulur bait-bait.
Tanpa bersiap,
Tanpa menghidupi.
Hanya sibuk mengulur pagi.
Tanpa alasan,
Tanpa tujuan.
///
Sekarang,
Aku belajar.
Membuat awal cerita yang dihidupi Ibu,
Dan isi cerita yang disiapkan bapak.
Sekarang,
Aku hanya harus hidup.
Menghidupi.
Dihidupi.
Baca juga: Semar Mendem
(Editor: Iman Suwongso)