
“Hanya ada satu kata: Lawan!”
Larik penutup dalam puisi berjudul “Peringatan” karya Wiji Thukul, masih terus menggelegar hingga kini. Pada setiap aksi masa, larik puisi di bait terakhir tersebut, selalu disuarakan dengan lantang dan penuh semangat oleh para aktivis.
Baca juga: Kawan
Kata-kata Wiji Thukul dalam puisi tersebut, menjelma menjadi sihir untuk membakar semangat, dan menyatukan barisan massa dalam melawan ketidakadilan, dan kediktaktoran.
Kekuatan kata-kata perlawanan yang dituangkan Wiji Thukul disetiap puisinya, sampai membuat penguasa Orde Baru gentar. Bahkan, kekuatan puisi-puisi itu sampai membuat rezim otoriter harus mengerahkan kekuatan bersenjata untuk memburu, dan menghentikan kata-kata Wiji Thukul.
Ujung dari kata-kata yang tertuang dalam produk sastra itu, membuat hidup Wiji Thukul dan keluarganya harus terlunta-lunta. Dia menjadi buron kelas wahid di era Orde Baru, yang terus diburu secara brutal.
Kebrutalan untuk membungkam kata-kata Wiji Thukul di masa Orde Baru tersebut, membuat nasib sang penyair tak ada kejelasan hingga kini. Wiji Thukul dilenyapkan bersama kata-kata, usai peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli).
Dalam tulisannya yang berjudul “Perihal Sastra Kerakyatan, Sastra Pergerakan, dan Sastra Perlawanan”, Guru Besar Sastra Universitas Negeri Malang (UM), Djoko Saryono menegaskan, gerakan perlawanan atau pemberontakan estetis dan kultural sastra kerakyatan tak pernah mati.
“Tak heran, gerakan perlawanan atau pemberontakan sastra kerakyatan menjadi bagian penting dinamika politik kesusastraan atau estetika (puitika),” tulis Djoko, dilansir dari borobudurwriters.id.
Baca juga: Mee, Namaku (14)
Tak hanya kata-kata Wiji Thukul yang membuat penguasa Orde Baru gentar. Jauh sebelum Wiji Thukul, sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, juga mengalami nasib yang sama.
Pram ditangkap, dan dijebloskan ke tahanan secara brutal oleh penguasa di masa itu, tanpa proses peradilan. Rezim militeristik, menilai Pram dengan karya-karya sastranya sangat membahayakan, dan dapat mengganggu stabilitas nasional.
Sangat janggal, karya sastra yang dilahirkan Pram dinilai oleh penguasa kala itu sebagai bagian dari kegiatan subversif, dan membahayakan negara. Akibat karya sastranya, selama bertahun-tahun Pram harus mendekam dalam penjara tak manusiawi di Pulau Buru.
Setelah bebas dari Pulau Buru, nasib Pram tak juga membaik. Semua karya sastra yang dihasilkannya, dilarang terbit dan diedarkan. Negara melalui Kejaksaan Agung, melarang karya sastra Pram dibaca masyarakat. Bahkan, mereka yang menyimpan, membaca, dan mempelajarinya, juga dapat dijatuhi sanksi pidana atas tuduhan melawan negara.
Tak hanya di masa awal Orde Baru, Pram harus dibelenggu dalam penjara. Dia sudah merasakan pahitnya penjara, sejak masa penjajahan Belanda. Lewat karya sastranya, Pram dinilai membahayakan kekuasaan Belanda yang baru saja ikut memenangkan perang dunia dua, dan hendak kembali menguasai Nusantara.
Baca juga: Soesilo Toer: Pram Itu Ideologinya Kebebasan
Sastra sebagai senjata untuk melawan kedzaliman penguasa, serta sebagai bentuk penyadaran, jauh hari telah dilakukan penulis berdarah Belanda, Eduard Douwes Dekker. Melalui novel berjudul Max Havelaar, pemilik nama pena, Multatuli tersebut, membangun penyadaran tentang adanya penjajahan dan ketidakadilan di Nusantara.
Dalam novel yang aslinya berjudul “Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij” tersebut, Max Havelaar sebagai tokoh utama mengungkap penderitaan rakyat Lebak, Banten, akibat penindasan melalui sistem tanam paksa.
Melalui novel Max Havelaar, Multatuli juga mengisahkan penderitaan yang dialami tokoh Saijah dan Adinda. Kisah menyayat hati dua perempuan korban sistem tanam paksa itu, sering kali menjadi bahan naskah dalam pementasan di panggung-panggung teater kala itu.
Kesadaran-kesadaran tentang penindasan, ketidakadilan, dan keberanian melakukan perlawanan terhadap kedzaliman kekuasaan yang dibangun oleh para penulis sastra tersebut, sejalan dengan teori Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan.
Menurut Freire, pendidikan hadir untuk membebaskan bukan menindas. Pendidikan juga menghadirkan kesetaraan, serta pemikiran kritis. Keberadaan Multatuli, Pram, hingga Thukul melalui karya-karya sastranya, telah melahirkan kesadaran dan kemerdekaan.
Baca juga: Laki-laki dalam Kamar
Kesadaran akan adanya penindasan, dan terbangunnya pemikiran kritis khalayak melalui karya-karya sastra itu pula yang membuat para penguasa otoriter ketar-ketir. Penguasa yang cenderung korup dan otoriter, akhirnya mengambil langkah-langkah brutal untuk membungkam para sastrawan itu, demi melanggengkan kekuasaanya.
(Editor: L. Nandini)