Soesilo Toer: Pram Itu Ideologinya Kebebasan

Penulis Soesilo Toer (88) menjadi pembicara dalam diskusi memperingati 100 tahun Pramoedya Ananta Toer. Kegiatan ini digelar Komunitas Sabtu Membaca, dan Paguyuban Literasi Malang. Foto/Kobis/Emanuel Yuswantoro

“Pram itu, ideologinya kebebasan. Tidak terikat organisasi maupun partai,” ungkap Soesilo Toer, disambut tepuk tangan meriah para peserta diskusi, Minggu (2/2/2025). Soesilo Toer, tengah menceritakan sosok kakak kandungnya, yang merupakan salah satu sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Baca juga: Jalan Raya Pos, Karya Pram yang Membongkar Praktik Busuk Korupsi

Kebebasan Pram dalam berideologi itu, salah satunya dicontohkan oleh Soesilo saat sejumlah pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) meminta naskah Pram untuk pementasan dalam acara partai di Bali.

Pram yang merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dengan tegas menolak penggunaan naskahnya untuk pementasan yang digelar PKI. “Kalau Pram merupakan anggota partai tersebut, harusnya Pram tunduk pada pimpinan partai. Kenyataannya, Pram bersikap tegas menolaknya, karena tidak ingin karya seni dicampur adukkan dengan lembaga politik,” ungkap Soesilo.

Soesilo Toer yang akrab disapa Soes tersebut, mengungkapkan, kakak kandungnya itu sangat keras namun juga cengeng. Pram mendidik adik-adiknya dengan keras, tidak boleh hanya berpangku tangan. Tetapi di sisi lain, Pram akan sangat cengeng dan peduli, saat melihat adik-adiknya mengalami kesulitan.

Baca juga: Mee, Namaku (10)

Saat masih kecil, Soes mengaku pernah diminta oleh Pram untuk tinggal di Tanahabang, Jakarta. “Waktu itu Pram janji, akan menyekolahkan saya. Kenyataannya, saya hanya diberi uang saku Rp10. Pram dengan tegas bilang, kalau mau uang ya sana kerja,” tuturnya.

Penulis berusia 88 tahun, yang merupakan anak ketujuh dari pasangan Mastoer dan Siti Saidah ini, hadir di Kota Malang, untuk memperingati 100 tahun Pramoedya, Minggu (2/2/2025). Dalam forum diskusi tersebut, dia juga dengan tegas mengatakan Marxisme itu utopia, tidak mungkin bisa diterapkan dalam negara.

Di hadapan para peserta diskusi, yang rata-rata merupakan anak muda, Soes kembali menyampaikan kata-kata Pram, tentang manusia harus berani. “Manusia harus berani. Benar atau salah itu soal lain. Hanya manusia berani yang dapat menakhlukkan dunia,” tegasnya.

Pria yang sudah memasuki usia senja ini, tetap mengolah pikirannya dengan membaca dan menulis, Bahkan, dia kini masih menyiapkan dua tulisan. Salah satunya, disebutnya tulisan tentang Sang Misterius.

Baca juga: Angin Januari

Onie Herdysta, seorang peneliti dan guru di Taman Siswa yang turut menjadi pembicara dalam diskusi 100 tahun Pramoedya mengungkapkan, membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, seperti membaca sebuah sejarah yang hidup kembali.

“Tulisan-tulisan Pram, menghadirkan serpihan-serpihan sejarah yang sangat dengan kehidupan kita. Saat membaca Bumi Manusia, kita bisa melihat sejarah Sidoarjo, Surabaya, dan sekitarnya. Demikian juga saat membaca Arok Dedes, kita begitu dekat dengan sejarah Singhasari,” ungkapnya.

Kehadiran Soesilo Toer, dalam peringatan 100 tahun Pramoedya di Kota Malang, sangat menarik perhatian Difa. Gadis cantik yang kini berstatus sebagai mahasiswa semester delapan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang tersebut, mengaku mendapatkan sisi lain tentang sosok Pramoedya dari diskusi tersebut.

“Saya mengenal sosok Pramoedya berawal dari media sosial. Baru satu buku yang saya baca, yakni Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Bagi saya, sastra punya kebebasan, dan tidak bisa diberedel oleh kekuasaan,” ujarnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *