
“Seperti pada saat ini, setelah ada pelarang, saya merasa tidak aman kalau keluar. Dan perasaan aman itu penting dalam hidup orang. Merupakan ganguan batin, gangguan pikiran, kalau merasa tidak aman,” ujar Pram, di akhir film dokumenter berjudul The Great Post Road (Jalan Raya Pos).
Baca juga: 100 Tahun Pramoedya, Anak Muda Membaca Sastra untuk Kemanusiaan
Film dokumenter yang diproduksi sejak tahun 1995 tersebut, bercerita tentang banyak hal seputar kehidupan Pramoedya Ananta Toer, selepas dari masa penahanannya di Pulau Buru. Dalam film berdurasi lebih dari dua jam tersebut, mengulas banyak kisah kebrutalan penguasa Orde Baru, terhadap sastrawan besar Indonesia, yang akrab disapa Pram itu.
Pram sempat memperlihatkan, dan membacakan sebuah surat dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dikirimkan melalui faximili. Surat tersebut, berisi tentang pelarangan peredaran buku karya Pram yang berjudul “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”.
Pemerintah Orde Baru, sampai harus mengeluarkan surat larangan peredaran buku tersebut, karena dinilai dapat mengganggu ketertiban umum. Pram juga menganalisa, penguasa menganggap apabila buku tersebut tidak dilarang, maka akan menjadi media untuk merehabilitasi namanya sebagai mantan Tahanan Politik (Tapol).
Dalam film tersebut, juga memuat pernyataan Pram yang selalu menertawakan segala bentuk ancaman, pencekalan, dan pelarangan yang dilakukan pemerintah. Namun, dirinya tak mampu mengendalikan lagi perasaannya saat sudah dalam kondisi tertidur.
Baca juga: Mee, Namaku (10)
Film dokumenter Jalan Raya Pos, atau Jalan Daendels ini, diputar dan ditonton oleh ratusan pasangan mata anak-anak muda di Local Coffe Merjosari, Kota Malang, sabtu (1/2/2025). Pemutaran film tersebut, sebagai rangkaian kegiatan peringatan 100 tahun Pramoedya yang diselenggarakan Komunitas Sabtu Membaca, dan Paguyuban Literasi Malang.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Mundi Rahayu. “Film ini mengulas tentang esai Pram, yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jalan raya paling panjang dan paling bagus itu, dibangun pada tahun 1809, menghubungkan seluruh pesisir utara Pulau Jawa. Yakni, dari Anyer, hingga Panarukan,” tuturnya, saat diskusi usai pemutaran film.
Mundi menyebut, film dokumenter ini sangat bagus, karena mampu menggabungkan kerja-kerja sastra dengan sinematografi. Film ini, dinilainya sangat cocok ditonton oleh generasi muda, sebagai bahan refleksi dan belajar.
Film ini, imbuh Mundi, tidak sekedar bercerita tentang Daendels, dan banyak korban dalam proses pembangunan Jalan Raya Pos. “Dalam film ini, Pram menyampaikan banyak hal tentang sejarah. Melalui film ini, kita semua bisa belajar sejarah,” tuturnya.
Isu pertama yang diangkat dalam film ini, memang tentang Jalan Raya Pos. Tetapi, didalamnya banyak bercerita tentang sejarah kelam orde baru. Yakni tentang kesenjangan sosial dan ekonomi akibat korupsi, serta kisah pemberangusan secara brutal terhadap lawan-lawan politik penguasa.
Mundi menyebut, banyak paradoks yang dimunculkan dalam film ini. Pembangunan yang terjadi selama orde baru, tak hanya melahirkan kemiskinan di masyarakat, tetapi juga melahirkan segelintir elit yang menguasai hampir seluruh kekuatan ekonomi.
Baca juga: The Scarlet Letter: Sebuah Kisah Tentang Dosa, Penebusan, dan Pilihan Hidup
Film tersebut, juga menggambarkan bagaimana seorang Pram dianiayai, ditangkap, dipenjara tanpa pengadilan, dan mengalami trauma. Karya-karya sastra Pram juga diberedel, karena dinilai subversif atau melawan pemerintah.
Penguasa orde baru begitu takut dengan karya sastra Pram, hingga seluruh karya sastra itu habis diberangus. Mundi menyebut, buku-buku Pram justru banyak diterbitkan di luar negeri.
Buku-buku yang diterbitkan di luar negeri itulah, yang akhirnya masih bisa dinikmati hingga saat ini. “Kini tugas kita mempelajari dan membacanya. Kalau kita mau belajar sejarah, tentunya kita akan bisa lebih maju,” terang Mundi.
Dalam diskusi tersebut, juga hadir dosen Universitas Ciputra Surabaya, FX Domini BB Hera. Sejarawan muda ini mengungkap, dalam esainya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, Pram secara blak-blakan mengurai busuknya korupsi saat pembangunan Jalan Raya Pos.
“Banyak uang digelontorkan untuk membayar para pekerja dari pemerintah kolonial, melalui bupati dan penguasa lokal. Namun uang itu tidak pernah sampai ke para pekerja. Korupsi ini sangat menyengsarakan rakyat,” ujarnya.
Hera juga menyebutkan, meski telah berlalu 200 silam, namun budaya korupsi itu masih tetap saja mengakar di sepanjang jalur Pantai Utara (Pantura) Jawa. “Bayangkan saja, setiap tahun kita akan selalu disuguhi berita tentang proyek pembangunan dan perbaikan jalan di sepanjang Jalur Pantura. Pembangunan jalur tersebut tidak pernah tuntas,” tegasnya.
Baca juga: Setyawati Sulaiman, Arkeolog yang Ungkap Kejayaan Sriwijaya
Kehadiran Jalan Raya Poros, menurut Hera berdampak besar pada kehidupan manusia. Jalan ini, mampu mengubah fisik serta mental manusia. Keberadaan Jalan Raya Pos ini, membuat pasar-pasar rakyat yang sebelumnya ada di pedalaman akhirnya pindah ke tepi jalan.
Bahkan, dia menyebut gedung pusat pemerintahan kolonial di Surabaya, yang kini menjadi Gedung Negara Grahadi ikut berubah akibat keberadaan Jalan Raya Pos. “Awalnya, Surabaya merupakan kota maritim, di mana gedung tersebut menghadap ke Kalimas, namun akhirnya diubah membelakangi sungai setelah adanya Jalan Raya Pos,” ungkap Hera.
Keganjilan dan perselingkuhan kekuasaan yang membuat rakyat sengsara, tak pernah luput dari karya tulis Pram. Ini yang membuat penguasa orde baru sangat alergi dengan karya sastra yang dilahirkan Pram, hingga melakukan pemberangusan secara brutal. Meski demikian, Pram tetap konsisten untuk berkarya. “Saya tidak ingin menulis jurnalistik, saya ingin menulis sastra,” ungkap Pram.