100 Tahun Pramoedya, Anak Muda Membaca Sastra untuk Kemanusiaan

Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer digelar di Kota Malang, oleh Komunitas Sabtu Membaca, dan Paguyuban Literasi Malang. Foto/Dok. Komunitas Sabtu Membaca

Peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, digelar di Kota Malang, oleh Komunitas Sabtu Membaca, dan Paguyuban Literasi Malang. Perhelatan untuk mengenang salah satu sastrawan besar Indonesia ini, bakal digelar mulai sore nanti, Sabtu (1/2/2025) hingga Minggu (2/2/2025).

Baca juga: Soesilo Toer, Ziarah Literasi

Banyak kegiatan yang ditawarkan oleh pelaksana kegiatan peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer. Di antaranya, pameran sampul buku-buku karya sastrawan yang dikondang disapa Pram tersebut.

Selain itu, menurut Ketua Komunitas Sabtu Membaca, Haryono, acara peringatan satu abad Pram yang digelar di Local Coffe Malang tersebut, juga diisi dengan orasi budaya, serta diskusi dan nonton bareng film “Jalan Raya Daendels”.

“Kami juga menggelar pentas monolog, pembacaan puisi, serta diskusi bersama Soesilo Toer, yang merupakan adik kandung Pramoedya Ananta Toer. Banyak kegiatan yang sengaja kami gelar, untuk lebih mengenalkan sosok dan karya-karya Pram kepada generasi muda,” ujarnya.

Lebih lanjut, pegiat literasi yang akrab disapa Cak Pendek ini mengungkapkan, membaca karya-karya Pram akan menemukan banyak nilai-nilai kemanusiaan yang tidak lekang oleh zaman.

Peringatan satu abad Pram di tengah bising kehidupan komersial Kota Malang ini, tentunya sangat menarik untuk dikunjungi. Sosok Pram dan karya-karyanya yang secara brutal diberangus oleh pemerintah otoriter Orde Baru, disuguhkan dalam berbagai bentuk media yang bisa dinikmati oleh lintas generasi.

Menurut pegiat Kelompok Belajar Menulis (Kobis) Merajut Sastra, Heni Andajani, karya-karya monumental Pram, seperti yang termuat dalam Tetralogi Buru, masih sangat penting untuk dibaca dan dimaknai bersama, karena berisi tentang nilai-nilai kemanusiaan yang selalu kontekstual dengan zaman.

Wanita paruh baya yang berdomisili di Tangerang, Banten, tersebut, mengaku mengenal sosok Pram, karakter, dan karya-karyanya justru dari cerita temannya. “Bagi saya, tidak semua seberuntung teman saya yang langsung mengenal dan bersentuhan dengan sosok Pak Pram, tetapi meskipun tidak mengenal langsung kita bisa mengenalnya lewat berbagai karyanya,” imbuhnya.

Baca juga: Mee, Namaku (10)

Baginya, mengenal Pram membuat hidup tidak cengeng. “Mengetahui jalan hidup dan karya Pram, juga bisa membuat kesusahan kita sendiri jadi terasa ringan, tak seberapa dibandingkan dengan beliau. Dunia internasional banyak mendengarkan Pram, masak kita yang memiliki beliau, tidak mengenalnya sama sekali,” ungkap Heni.

Karya-karya Pram lahir dari pergulatan panjang, yang kadang di luar batas kemanusiaan. Dalam sebuah diskusi yang digelar beberapa tahun silam, Owe Him Hwie mengungkapkan bagaimana perjuangan Pram di Pulau Buru, untuk menulis naskah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang lebih dikenal sebagai Tetralogi Buru.

Owe yang merupakan mantan jurnalis di era Soekarno tersebut, turut menjadi tahanan politik (Tapol) di masa rezim otoriter Orde Baru berkuasa. Sama dengan Pram, Owe dijebloskan penjara tanpa proses pengadilan, lalu dibuang ke Pulau Buru bersama Pram, dan ribuan Tapol.

“Kami semua bekerja bersama menyediakan kertas dan pensil, untuk Pak Pram, agar Pak Pram bisa menulis lagi. Proses menulisnya juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena kami dalam tahanan pengasingan, dan diawasi secara ketat oleh aparat,” ungkap Owe kala itu.

Kertas yang digunakan menulis Pram, berasal dari bekas bungkus semen. Pram menulis di tengah malam gelap, dalam barak pembuangan yang ada di tengah belantara Pulau Buru. Banyak Tapol yang tewas akibat siksaan brutal aparat, kerja paksa di tengah hutan belantara tanpa alat memadahi, hingga termakan ganasnya alam.

Di antara tekanan yang begitu kuat, Pram masih bisa terus berkarya. Berkat bantuan para Tapol lainnya, karya-karya tersebut akhirnya dapat dibawa keluar dari Pulau Buru, hingga diterbitkan.

Saat karya-karya tersebut telah terbit, ternyata juga tak semudah membalik tangan untuk mengedarkannya. Pemerintah otoriter Orde Baru, memberedel karya-karya Pram, bahkan para pemilik dan pembacanya juga bisa dijerat dengan pasal subversif.

Baca juga: Kawan

Sekuat apapun kekuasaan yang korup dan otoriter tersebut mengekang karya-karya Pram, pada kenyataannya karya-karya yang berisikan tentang nilai-nilai kemanusiaan itu tetap abadi. Dan hari ini, karya-karya Pram masih dapat dinikmati, saat sang sastrawan besar itu telah tiada.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *