The Scarlet Letter: Sebuah Kisah Tentang Dosa, Penebusan, dan Pilihan Hidup

The Scarlet Letter: Sebuah Kisah Tentang Dosa, Penebusan, dan Pilihan Hidup. Foto/Kobis/Rahayu SJ

Judul              : The Scarlet Letter
Penulis           : Nathaniel Hawthorne
Penerbit         : Mizan
Cetakan         : Pertama
Tebal              : 344 halaman
Tahun Terbit : 2021

Hester dihukum karena melahirkan seorang anak di luar pernikahan, namun ia menolak menyebutkan siapa ayah dari anak tersebut. Dalam masyarakat Puritan Boston, dosa semacam itu dianggap tak termaafkan. Huruf “A,” yang melambangkan adultery (perzinaan), menjadi tanda aib yang harus Hester kenakan sepanjang hidup.

Baca juga: Mee, Namaku (9)

“Percayalah, Hester, hanya ada beberapa hal yang tersembunyi dari pria sepertiku—beberapa hal dengan kedalaman tertentu dan tidak terjangkau oleh akal, dan aku adalah pria yang mendedikasikan hidupnya untuk memecahkan misteri. Kau mungkin dapat menutupi ini dari orang lain. Kau mungkin dapat menyembunyikannya dari para pelayan sabda dan magistrat ketika mereka berupaya membongkar isi hatimu dan membuat pasanganmu itu berdiri di panggung. Namun aku… aku mencari tahu melalui cara-cara lain yang tidak mereka miliki,” ujar Roger Chillingworth, mantan suami Hester Prynne. Kata-kata itu diucapkannya di penjara, sesaat setelah Roger menemukan Hester di atas panggung hukuman.

Lupa kapan terakhir kali merasakan hidup yang benar-benar hidup, Hester seolah mati setiap kali. Kematian mungkin terdengar lebih baik ketimbang mengalami tahun-tahun diasingkan, dijauhi, dihina, dan mendapatkan semua perlakuan keji dari masyarakat. Semua telah direnggut oleh dunia darinya, hingga satu-satunya harta yang tersisa adalah Pearl, putri kecil yang menyala. Seolah-olah ia lahir dari suatu momen gairah sementara.

Alih-alih memulai hidup baru di tempat lain, jauh dari pandangan masyarakat yang menghakiminya, Hester bertahan. Baginya, New England adalah tempat menebus dosa dan menemukan kedamaian melalui pengorbanan. Bersama Pearl yang ceria dan penuh semangat, Hester menjalani hidup di pinggiran kota, terasing dari penduduk New England.

Sementara Roger Chillingworth, yang kemudian hari menjadi seorang dokter, hidup satu atap dengan Arthur Dimmesdale, seorang pastor yang dihormati masyarakat. Dalih Roger adalah merawat kesehatan Dimmesdale yang kian memburuk, senyampang Roger mulai menyelidiki lebih dalam dan mencoba mengungkap rahasia yang disembunyikan sang pastor.

Dalam percakapan mereka, Roger dengan lihai memancing emosi Dimmesdale.
“Mengapa orang yang bersalah tidak mau menikmati kelegaan itu lebih cepat?” tanyanya dengan nada tajam. Dimmesdale menjawab sesuai kebenaran yang ia yakini.

Baca juga: Terkenang India pada Serakan Puisi Sunyi

Roger melanjutkan, “Mereka takut untuk mengakui rasa malu yang memang harus ditanggung. Cinta mereka terhadap manusia dan dambaan mereka untuk melayani Tuhan—dorongan suci ini mungkin ada bersamaan dengan kejahatan yang telah membebani mereka dengan rasa bersalah, sehingga bisa jadi hati mereka ikut mengundang kejahatan dan menciptakan pikiran yang penuh kejahatan.”

Tanpa penjelasan lebih lanjut, pembaca mulai memahami bahwa Dimmesdale adalah pria yang menghamili Hester.

Kondisi Dimmesdale semakin memburuk. Kesehatannya telah menjadi perhatian para pengikutnya, pun telah sampai ke telinga Hester. Hester pun meyakini bahwa ini pasti karena Roger, mantan suaminya itu. melalui pertemuannya dengan sang dokter, Hester pun meluapkan semua kemarahannya.

“Sejak hari itu, tidak ada orang yang lebih dekat dengannya selain dirimu. Kau mengikuti setiap jejak langkahnya. Kau ada di sisinya, baik dalam keadaan tidur maupun bangun. Kau menjelajahi pikirannya. Kau menggali dan mengguncang hatinya! Kau menggenggam hidupnya dan kau membuat dia hidup dalam kematian, dan dia tetap tidak tahu siapa dirimu.”

Ketegangan semakin memuncak ketika Hester akhirnya memberitahu Pastor Dimmesdale bahwa Roger adalah mantan suaminya. Rahasia yang selama ini mengikat mereka bertiga pun terungkap.

Baca juga: Bilangan Fu; Pertarungan Nilai-Nilai Tradisional dan Modern

Dalam salah satu momen paling emosional, Dimmesdale mengumpulkan keberanian untuk mengakui dosa di hadapan jemaatnya. Di panggung yang sama tempat Hester pernah berdiri tujuh tahun sebelumnya, ia memanggil Hester dan Pearl untuk berdiri bersamanya.

“Ayo, Hester, Pearl, kemarilah,” ujarnya dengan suara lemah yang seketika membuat jemaatnya bingung. Waktu tak berpihak pada Dimmesdale. Pengakuannya menjadi langkah terakhir sebelum maut menjemput. Di sanalah, ia menebus dosanya. Di tengah kerumunan itu, ada lelaki yang tersenyum sinis mengetahui apa yang terjadi di depannya. Tepat seperti yang ia pikirkan.

Novel ini begitu lugas. Gamblang meninggalkan pesan tentang beban dosa, penyesalan, dan pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri.

Turen, 14 Januari 2025

Rahayu SJ adalah seorang aktivis dan konten kreator asal Ampelgading, Kabupaten Malang. Ia telah menerbitkan tiga buku, 25 Mei, 27 April, dan Lekat dalam Kenangan Lalu. Saat ini, ia bekerja sebagai Public Relation di Lembaga Pendidikan dan Penyalur Tenaga Kerja ke Jepang.

(Editor: A. Elwiq Pr.)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *