Setyawati Sulaiman, Arkeolog yang Ungkap Kejayaan Sriwijaya

Setyawati Sulaiman. Foto/dok. hima.fib.ugm.ac.id

Belantara di Muaro Jambi yang kondisinya masih pekat, tak sedikitpun membuat langkah Setyawati Sulaiman surut. Bersama sejawatnya, R.P. Soejono, Uka Tjandrasasmita, Boechari, Basoeki, dan sejumlah arkeolog Belanda, perempuan ini melangkah menembus pekatnya belantara untuk mengungkap kejayaan Sriwijaya.

Baca juga: Tihawa Arsyady Pendekar Sastra Dari Aceh

Jejak ekspedisi di Pulau Sumatera, untuk mengungkap keberadaan kerajaan Sriwijaya tersebut, dilakukan perempuan arkeolog yang akrab disapa Leman ini, pada tahun 1954. Ekspedisi itu dilakukan di wilayah Sumatera bagian selatan, hingga ke Jambi.

Dalam tulisan Muhamad Duta AC. Permana, yang diunggah di situs hima.fib.ugm.ac.id, diungkapkan, Leman dilahirkan di Bogor pada 7 Oktober 1920. Dia berhasil menyandang gelar sarjana arkeologi dari Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1953.

“Beliau merupakan putri dari seorang bupati berdarah Sunda. Di kalangan para ahli arkeologi, Setyawati Sulaiman dikenal sebagai ahli ikonografi (seni arca), tetapi pengetahuannya mengenai benda-benda tinggalan budaya masa lampau sangat luas. Meski baru lulus sarjana tahun 1953, beliau sudah mulai bekerja di Dinas Purbakala sejak tahun 1948,” tulis Muhamad Duta AC. Permana.

Jejak perempuan arkeolog pertama Indonesia, dalam menyingkap Kerajaan Sriwijaya di tanah Sumatera tersebut, menjadi salah satu pembahasan utama di ajang Borobudur Writer and Culture Festival (BWCF) ke-13, yang digelar pada penghujung tahun 2024 lalu di Jambi.

Dalam acara pembukaan BWCF ke-13 Jambi, Kurator BWCF, Cecep Eka Permana mengungkapkan, secara khusus topik pembahasan dalam gelaran BWCF ke-13 di Jambi ini, adalah tentang arca-arca Sumatera, yang pernah ditulis oleh Setyawati Sulaiman.

“Setyawati Sulaiman merupakan perempuan arkeolog pertama di Indonesia, dan mulai melakukan ekspedisi di Sumatera pada tahun 1954. Ekspedisi ini, menjadi penelitian awal tentang arca-arca di Sumatera,” ungkap Cecep.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Setyawati Sulaiman bersama timnya, disebutkan arca-arca di Sumatera, memiliki pengaruh dari masa Syailendra, Singhasari, Majapahit, hingga Srilangka. Hal itu salah satunya dibuktikan dengan penemuan arca Pratnya Paramitra pada tahun 1978, yang mirip di Jawa Timur. Selain itu ada arca Duarapala yang penampakannya lebih tenang.

BWCF yang sebelumnya banyak digelar di kawasan Borobudur, lalu pada tahun 2023 digelar di Kota Malang, Jawa Timur, akhirnya diselenggarakan di Jambi. Cecep mengungkapkan, perjalanan BWCF dari Jawa Timur, ke Sumatera ini mengingatkan perjalanan muhibah dan diplomatik Kerajaan Singhasari, ke Sumatera.

Baca juga: Sajak Lima Belas Januari

Ekspedisi yang dilakukan sekitar abad 13, merupakan kebijakan dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Perjalanan muhibah dan diplomatik ke Sumatera tersebut, juga dikenal dengan sebutan Ekspedisi Pamalayu.

Menurut sejarah, tujuan awal muhibah tersebut bukan ke Jambi, atau Muara Jambi, melainkan ke Kerajaan Dharmasraya, tetapi sudah bergeser ke pedalaman sekarang masuk wilayah Sumatera Barat.

“Hal ini dibuktikan dengan prasasti Padangroco, yang menjadi alas atau laptik arca Amogapaksa. Arca tersebut, sengaja dipersembahkan Kertanegara sebagai tanda persahabatan untuk Raja Dharmasraya, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa,” ungkap Cecep.

Dia menambahkan, potensi kebudayaan di wilayah Muara Jambi, yang secara administrasi ada di Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muara Jambi, Jambi tersebut, sangatlah besar. Hal ini ditandai dengan banyaknya peninggalan sejarah abad 7-12 Masehi, yang ada di Muara Jambi.

“Peninggalan sejarah itu berupa bangunan berbahan bata, umumnya berupa bangunan pemujaan atau candi, dan tempat pendidikan agama Budha, yang disebut vihara. Keberadaan vihara di Muara Jambi, sangat banyak, besar dan luas. Tidak berlebihan kalau ini disebut Maha vihara,” ungkapnya.

Untuk melindungi warisan budaya di Muara Jambi ini, juga telah diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 259/M/2013. Di mana telah ditetapkan satuan ruang geografis Muara Jambi, sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) seluas 3.981 hektare. Luasan ini, 24 kali lebih besar dari Ankor Wat di Kamboja.

Baca juga: Kisah WR. Soepratman, Jurnalis dan Musisi Jazz Penggubah Lagu Indonesia Raya

Dia menyebutkan, hingga akhir 2024, Muara Jambi, menjadi prioritas dalam program revitalisasi cagar budaya. Proses revitalisasi terus ditingkatkan, sehingga dapat mendukung upaya mendorong Muara Jambi, sebagai situs warisan budaya dunia Unesco.

Dari hasil pendataan yang telah dilakukan, di kawasan tersebut sudah teridentivikasi sebanyak 100 buah struktur bata kuno. Namun, dari jumlah hasil identivikasi tersebut, baru sembilan bangunan candi yang dipugar, yakni Candi Astano, Candi Kembar Batu, Candi Tinggi, Candi Tinggi 1, Candi Gumpung, Candi Gumpung 1, Candi Gedong, Candi Gedong 1, dan Candi Kedaton.

“Candi-candi yang ada di kawasan Muara Jambi, tidak hanya menyimpan nilai sejarah dan budaya, tetapi juga saksi bisu pertukaran nilai spiritual antar generasi. Pelestarian candi ini, bertujuan menajamkan akal budi, menguatkan rasa kemanusiaan, serta menyusuri jejak masa lampau di mana Muara Jambi, pernah menjadi poros pendidikan budhisme tertua,” terang Cecep.

Keberadaan Muara Jambi sebagai pusat pendidikan budhisme, juga terkait erat dengan Nalanda di India. Cecep menyebut, hubungan antara Muara Jambi dan Nalanda, antara lain dapat dilihat dari catatan seorang biksu asal China, bernama I-Tsing, dan prasasti Nalanda.

Dalam catatannya, I-Tsing mengungkapkan, ada ribuan biarawan yang tekun belajar dan beribadah di Muara Jambi. Mereka tinggal di kawasan bertembok. Pelajaran yang dipelajari seperti yang ada di India, antara lain pancawidya, logika, tata bahasa dan susastra, metafisika, hingga filsafat.

Bahkan, I-Tsing juga mengungkap tata upacara yang dilakukan biarawan di Muara Jambi, sama dengan yang ada di India. I-Tsing menyarankan kepada para biksu dari China yang hendak belajar di India, lebih dahulu tinggal di Muara Jambi selama 1-2 tahun untuk melatih diri dengan benar.

Kawasan Muara Jambi, juga banyak dikunjungi para peziarah dari China dan India. Mereka belajar kepada guru besar yang ada di Muara Jambi, yakni Serlingpa Dharmakirti.

Dalam prasasti Nalanda, berangka tahun 860 Masehi, terungkap, raja Kerajaan Pala, Raja Dewa Paladewa mengabulkan keinginan Raja Sriwijaya, Maharaja Balaputradewa, untuk membangun vihara di Nalanda. Vihara itu digunakan untuk para biksu dan pelajar dari Sumatera, yang sedang berada di Nalanda. Keberadaan vihara ini, menyejajarkan reputasi Sumatera dengan Nalanda.

Baca juga: Mee, Namaku (8)

Terungkapnya keberadaan arca-arca Sumatera, serta kawasan vihara di Muara Jambi itu, salah satunya berkat hasil kerja keras Setyawati Sulaiman bersama timnya yang melakukan ekspedisi ke Sumatera.

Selain hasil penelitian di Sumatera, Setyawati Sulaiman juga menulis buku yang sangat terkenal, yakni Monuments of Ancient Indonesia. Buku tersebut, diterbitkan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Indonesia di Jakarta, pada tahun 1976.

Selama karirnya, Setyawati Sulaiman pernah ditugaskan sebagai Atase Kebudayaan di New Delhi, India, pada tahun 1958-1961. Dan menjadi Atase Kebudayaan di London, Inggris, pada tahun 1961-1963.

Saat bertugas di India, dia menyempatkan diri untuk memperdalam pengetahuannya tentang candi. Langkah yang dilakukannya tersebut, berdampak besar terhadap perkembangan ikonografi di Indonesia.

Selepas bertugas sebagai atase kebudayaan di India, dan Inggris, Setyawati Sulaiman pulang ke Indonesia, dan menjadi Kepala Bidang Arkeologi Klasik, Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) pada tahun 1963-1973.

Dia juga dipercaya menggantikan Soekmono sebagai Kepala LPPN, dan penanggungjawab proyek pemugaran Candi Borobudur. Jabatan sebagai Kepala LPPN, diembannya pada tahun 1973-1977. Selanjutnya, dia menjadi Ahli Peneliti Utama di Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional pada tahun 1977-1985.

Baca juga: Tetangga

Perempuan arkeolog pertama Indonesia tersebut, meninggal dunia pada 26 Februari 1988 di Jakarta. Kepergian Setyawati Sulaiman tersebut, sempat diabadikan O. W. Wolters dalam sebuah tulisan berjudul “In Memoriam: Satyawati Suleiman, 1920-1988”.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *