
Judul : The Sounds of Silence – A Collections of Modern Poems
Penulis : W Sanavero
Editor : Balqis Nab
Penerbit : Paper Towns Publisher, Jaipur India
Tebal : 71 halaman
Kumpulan puisi berbahasa Inggris, berjudul “The Sounds of Silence” lahir dari tangan dingin W. Sanavero. Perempuan penulis kelahiran Blora, 17 Januari 1995 ini, menulis kumpulan puisi tersebut, di tengah kesibukannya saat bekerja disebuah lembaga studi di New Delhi, India.
Baca juga: Tihawa Arsyady Pendekar Sastra Dari Aceh
Sanavero merupakan anak kedua pasangan KH. Dawam Nawawi, dan Tutik Alawiyah, diasuh dalam suasana komunal pesantren bersama kakak perempuan dan adik laki-lakinya. Dia berhasil menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Malang, dan meneruskan studi di Universitas Nalanda, Bihar, India. Ijazah Master Degree diperoleh dengan beasiswa penuh ASEAN.
Dari 31 puisi yang ada dalam kumpulan ini, mengimpresikan suara-suara sunyi. Temanya klasik; tentang wanita meniti nilai-nilai tradisi dan religi yang pekat, menuju perikehidupan modern yang mengagungkan akal budi untuk berpikir kritis.
Puisi-puisinya diutarakan dengan sepenuh hati, terus-terang, dan lugas. Bahasa Inggris yang digunakan, rupanya dipengaruhi oleh pola komunikasi dengan Ibunya. Seorang pengajar Bahasa Inggris di sekolah menengah.
Dalam lembar persembahan, Sanavero menulis pengantar puitis tentang gambaran kehidupan. Hidup berputar untuk memenuhi rotasi semesta. Ujungnya bertemu dengan kesunyiannya sendiri.
Baca juga: Mee, Namaku (8)
Puisi pertama dalam kumpulan ini berjudul Norm, tentang seorang wanita dan norma. Sang aku (perempuan) melolosi diri dan kegilaannya. Ambiguitas tercermin dalam puisi ini. Keinginan lepas dari rasa terkungkung norma-norma bikinan manusia, sekaligus tak mampu benar-benar lepas. Alhasil, “who is she?” Seorang yang ingin kembali kepada sang norma.
Pada puisi kedua Saddest Loss (Rasa Hilang yang Begitu Sedih), pertanyaan serupa juga muncul di larik pungkasan. When did my life begin? Kapan hidup saya telah dimulai?
Suasana India yang asing, purba sekaligus intim, tercermin dalam larik-larik puisinya.
Soliloquy / my time / my space / I walk to follow my silence (halaman 23)
Gumam/ zamanku / duniaku / Aku berjalan mengikuti kesunyianku.
Suasana mencekam dalam larik-larik puisi yang menggenangkan pertanyaan demi pertanyaan, diungkapkan dengan diksi-diksi Bahasa Inggris “rasa” Bahasa Indonesia. Tentang diri, hidup, semesta, dan Tuhan, diarahkan pada perjumpaan ekstasi spiritual tanah tua Bihar, dengan gaya puitis-ritmis.
Puisi-puisinya sangat kental cerminan pertentangan kehidupannya yang komunal sebagai gadis santri dengan kehidupan individualitas intelektualis di India. Seorang santri yang berkawan dengan biksuni, dan masuk ke rumah-rumah ibadah bukan naungan santri. Dalam situasi “kenikmatan” gastronomi keseharian; kari kental dan rempah-rempah yang rasanya menusuk.
Suasana sepi, sunyi, dan menyayat diekspresikan Sanavero dalam puisi “Misery of October“. Duka Derita Oktober.
How does the god kill his creation, like a writer kills his character in their masterpiece? / Sometimes I believe in him in my half as an atheist, to take me out on his scenario / And half, / Sometimes, / I know, I have been on my monologue on the stage of tragedy which I wrote with my hand, on miserable October / As a woman with no voice except forgiveness (halaman 35)
Baca juga: Bilangan Fu; Pertarungan Nilai-Nilai Tradisional dan Modern
Bagaimana tuhan membinasakan ciptaannya, serupa penulis membunuh tokoh dalam adi cerita yang ia cipta? / Kadangkala aku percaya padanya dalam sebagian diriku yang ateis, untuk keluar dari jalan ceritanya / sebagian diri, / kadang-kadang, / aku mengetahui, aku dalam jalan ceritaku sendiri di panggung tragedi yang kutulis dengan tanganku, di duka derita Oktober / sebagai seorang wanita tanpa suara kecuali pengampunan.
Akhir kumpulan puisi The Sounds of Silence, ditutup dengan kesan tentang zaman. Selebihnya adalah busa-busa yang kemudian disebut sebagai suatu zaman / sebagai zaman baru atau zaman yang akan terulang.
The rest is the foam that becomes an era, / whether a new era or an era that will repeat.
Dalam setiap puisi dalam kumpulan ini, diimbuhi ilustrasi lukisan realis hitam-putih. Samuel A. Tripura pelukis itu, menggoreskan gerak tubuh, mimik wanita, juga di antaranya berpasangan. Ilustrasi ini cukup memberikan jeda, agar pembaca bisa menarik nafas.
Puisi-puisi ini menarik dibaca, bukan hanya karena berbahasa Inggris, tetapi impresi keterasingan hidup di tengah-tengah budaya yang berbeda. Anda membacanya, kegelisahan itu segera menusuk dada anda.
Turen, 22 Desember 2024