Inovasi Tak Harus dari yang Besar

Inovasi Tak Harus dari yang Besar. Foto/Kobis/Emanuel Yuswantoro

Judul buku : Sosok Inspiratif Kompas: Sang Inovator (Dari Kegelisahan Meraih Kegemilangan)
Editor          : Budi Suwarna, Al Soni BL de Rosari
Tebal          : ix + 204 halaman
Penerbit     : Kompas Media Nusantara, 2021

Rubrik Sosok di Harian Kompas muncul pada tahun 2005. Rubrik ini memayungi feature serupa yang sudah bergulir sejak tahun 1965, oleh internal Kompas disebut ‘box’. Tulisan pada layout dibingkai kotak.

Baca juga: Mee, Namaku (6)

Isi rubrik Sosok tentang tokoh yang memiliki pengaruh, kontribusi, maupun penggagas-penggagas bercirikan human interest. Tokoh yang dalam hidup dan tindakannya bermanfaat untuk manusia secara umum. Buku ini sebagian dari ribuan tulisan pada rubrik itu.

Sebanyak 35 judul tulisan dalam buku setebal 204 halaman ini, dikurasi dari 1.000 judul yang tersebar pada tahun 2009 sampai 2014. Sang Inovator menggambarkan sosok-sosok yang memiliki inovasi dalam berbagai bidang. Inovasi untuk kehidupan masyarakat yang tersebar di Nusantara.

Kurator tulisan-tulisan sosok ini membingkai enam klasifikasi inovasi. Pertama, tentang pemuda yang inovatif. Kedua, guru atau pendidik. Ketiga, inovator lulusan Perguruan Tinggi. Keempat, inovasi bermula dari kegagalan. Kelima, produk inovasi. Keenam, tentang sosok pelopor.

Inovasi, dikisahkan dalam buku tidak selalu berkaitan dengan perihal yang “besar”. Misalnya, inovasi yang diciptakan oleh Linus Nara Pradhana. Ia mengkongkritkan temuannya tentang pendingin helem (pelindung kepala pengendara motor).

Helem kelihatannya merupakan barang remeh. Bahkan sebagian besar pengendara motor, helem digunakan formalitas belaka. Tidak berstandar SNI, asal bisa digunakan untuk tudung kepala cukuplah.

Tidak demikian bagi Nara, seorang siswa SMP kelas VIII asal Surabaya. Helem dapat memantik ide luar biasa. Karyanya menyabet medali emas dalam International Exhibition for Young Inventors, di Bangkok, Thailand, tahun 2012.

“Gagasan Nara itu muncul karena ia merasa iba terhadap ayahnya karena kerap kepanasan saat mengendarai sepeda motor pada siang hari,”. (hal. 9)

Baca juga: Tihawa Arsyady Pendekar Sastra Dari Aceh

Gagasan kecil itu ia tekuni dengan melakukan riset. Meneliti formula-formula yang akan mendukung maksud dan tujuannya. Berlanjut ia melakukan percobaan-percobaan, sampai beberapa kali. Akhirnya ditemukan formula helem berpendingin dengan bahan gel sodium polyacrylate (gel yang biasa ditemukan dalam popok bayi).

Dari karya inovasi helem berpendingin, Nara mengembangkan menjadi helm anti gegar otak. Wow! Setiap pembaca akan terkesan dengan diksi itu ketika menyadari kepalanya memang berisi bernama otak. Dalam waktu lima bulan Nara dapat merealisasikan sebagai karya inovatif yang diberi nama Cool Impact itu.

Banyak anak muda lain yang juga inovatif. Seperti ditunjukkan dalam buku ini, Harianto Albarr, Hibar Syahrul Gafur, Dimas Gianjar Merdeka, Kemaludin, Atthur Shadewa, dan Andi Agus Salim. Bacalah karya Hibar Syahrul Gafur; ia menciptakan sepatu anti kekerasan seksual buatannya.

Kalau siswa-siswa banyak yang inovatif, pasti juga banyak guru atau pendidik sebagai inovator. Pada buku ini ditampilkan sosok-sosok seperti Djuriono, Trijono, Joko Triyono, dan Haru Suseno. Mereka bukan berasal dari sekolah-sekolah besar yang penuh fasilitas. Joko Triyono misalnya, guru kesenian dari Prembun, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Triyono menciptakan karya inovatif berupa virtual gamelan. Idenya muncul karena kewajiban kurikulum yang memasukkan karawitan sebagai mata Pelajaran. Perangkat gamelan merupakan alat musik yang mahal. Tidak semua sekolah bisa menyediakan, termasuk tempat Triyono mengajar, SMA Negeri Prembun.

Gagasan virtual gamelan ia wujudkan dengan menjalankan beberapa tahap. Bagaimana mendapatkan software? Memperoleh karakter suara gamelan? Berbekal kemampuannya dalam bidang multi media, Triyono memproses kebutuhan-kebutuhan peralatan itu.

Prosesnya cukup panjang. Komponen-komponen kerja inovatif virtual gamelan dikerjakan dan diujicoba berkali-kali. Suara gamelan sebagai base data direkamnya sendiri. Program ditata dan menghasilkan beberapa program virtual gamelan. Untuk kebutuhan mengajar siswanya ia pilih orkestra karawitan dan game karawitan. Peralatan pembelajaran karawitan dikemas menjadi sebesar jari bernama flashdisc.

Baca juga: Bilangan Fu; Pertarungan Nilai-Nilai Tradisional dan Modern

Membaca kisah tentang 35 inovator ini cukup menyegarkan. Pembaca tidak hanya berhadapan dengan tokoh-tokoh yang memiliki human interest tetapi juga mencecap bagaimana gagasan brilian itu muncul, dan bagaimana merealisasikan gagasan itu. Membaca setiap kisah dalam buku ini seperti sedang menyalakan kembang api dan meledak indah di dalam kepala kita.

Tak khayal, cerita-cerita yang dikemas dalam bentuk feature (faktual, dilengkapi data, dan diungkapkan dengan gaya personal) ini, dapat memantik gagasan baru pembacanya. Ide beranak ide, proses mewabah proses, dan melahirkan kembali karya-karya inovatif.

Kredibilitas cerita-cerita dalam buku ini diperkuat dengan menampilkan biodata sosoknya. Menarik untuk mempermudah identifikasi mereka. Darimana asalnya, usianya, pendidikannya, profesinya, penghargaan yang diperolehnya. Biodata ini mempertegas peta inovasi yang ingin digambarkan secara utuh.

Sebaran innovator dalam buku bersampul unik (berilustrasi karikatur sosok-sosok yang diceritakan dalam buku) ini menjadi penting untuk semua kalangan calon-calon innovator. Boleh mahasiswa, bisa guru, pemuda, bahkan preman, atau geng motor seperti cerita Noverius Nggili, dari Nusa Tenggara Timur. ***

 

(Editor: A. Elwiq Pr.)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *