Soesilo Toer, Ziarah Literasi

Soesilo Toer (87). Foto/Kobis/A. Elwiq Pr.

Jiken, seperti gadis menisik tepi kain kebaya ala pantura untuk dikenakan seanggun-anggunnya. Jiken sudut wilayah kecamatan di Blora. Dan, seberapa panjang waktu ditempuh untuk kembali ke Blora, adalah jalan memutar yang tak terencana. Beberapa tahun hanya bekerja dalam pikiran. Kali ini, begitu saja dan terlaksana diikuti kemuraman kecil-kecil. “Arus balikmu, nduk,” ujar Mbakyu.

Baca juga: Lelaki Tua dan Nama

Melintas jembatan Cepu, dan sampai di ujung Jalan Sumbawa, Blora. Kami disambut tiga kambing. Sambutan ramah-tamah untuk tamu. Mereka mengendus-endus punggung tangan yang kudekatkan. Hawanya hangat dan hidup. Mereka mendapat perhatian manusiawi.

Kambing-kambing ini milik Soesilo Toer (87). Ia adik bungsu Pramoedya Ananta Toer dan Koesalah Soebagyo Toer. Kakak-adik yang hidup dari dunia kepenulisan. Karya Soes berupa kronik, fragmen, dan sekian kesaksian yang menunjukkan dirinya sudah kenyang menjadi pendengar. Pribadi yang banyak menerima nasehat di tengah keluarga. Kini, ia hidup semau-maunya dengan bicara tanpa tedeng aling-aling. Soes menjelma sosok yang tak henti-hentinya membuat istrinya sewot, gemas, sekaligus cinta.

“Tanya, bu. Berapa pacarnya!” seru istri Soes.

Saya antara di fait a compli sekaligus dijebloskan dalam arung kehidupan manusia lanjut usia yang berbeda cara pandang dengan pasangan pada umumnya. “Kekasih Pak Soes ada berapa?” tanyaku, enteng.

“Dua ratus!” serunya lantang.

Selanjutnya, tentu saja bisa ditebak, istri Soesilo Toer merapatkan bibir. Semacam puas membuktikan bahwa dirinya sudah muak dengan semua ini. Di lain sisi, apa boleh buat. Tubuh nyonya memunggungi pria yang masih menunjukkan sikap pantang gentar. Nyonya dengan sigap menanggapi bagaimana mengurusi sekian pacar? Mengurusi satu saja tak becus. Tanggapan yang tandas dan menjadi babak awal, bagaimana Soes membuka percakapan sebagai pemangku cerita. Babak pertama, tergelar.

Jembatan kedatangan saya sepuluh tahun lalu sudah runtuh. Bahkan puing-puingnya pun sudah termakan angin. Soes tak sanggup ingat. Kemudian menurutnya bahwa saya adalah perempuan asal Malang dan suaminya orang Blora, kapan dulu meneliti Bumi Manusia datang untuk mengoreksi beberapa detail isinya.

Baca juga: Penjaja Panggung

Mencari tautan lain, tersebutlah Kedai Buku Bintang Kecil di Malang. Soesilo Toer menyala dan mengatakan bahwa ia kalau ke Malang, menginap di kedai tersebut yang kakusnya nunut di toko swalayan di depan kedai. Ia terkekeh-kekeh. Berbicara sendiri perkara semacam itu, rautnya begitu jenaka.

Welda Sanavero dari Jiken, membawa saya sampai kembali ke rumah keluarga besar Toer. Mastoer –orang tua kakak beradik Toer, sebagai pemangku atas rumah dan isinya. Apapun status dan keberadaan tanah berikut bangunannya kini.

“Kue tart yang anda bawa kapan itu enak loh, beli di mana?” demikian Soes mengutarakan kepada Vero sambil mempersilakan duduk.

Vero dengan gawai sebagai senjata bekerja sebagaimana biasanya menyebabkan Soes beralih pada saya. Sambil memandang rambut saya dengan tanpa kelihatan memandang. Pernah tahu tatapan semacam itu? Soes mempunyai keahlian khusus ini. Ia mengerti memandang tanpa menjadi vulgar. Seorang gentleman lahir era 1930-an.

“Anda tahu akronim Irian?” tanyanya, kontan.

Saya menggelengkan kepala. Adapun othak-athik gathuknya serba terasa baru dan gaya. Flamboyan pada suatu masa, sekalipun tak tampak wagu dilakukan sekarang. Manusia yang sulit ditaklukkan.

“Yang bikin orang Tamansiswa itu! Ikut Republik Indonesia Anti Nederland,” ujarnya, bangga. Lalu diteruskan bahwa dirinya juga lulusan Tamansiswa.

Sambil meniti ingatan pada Asvi Warman Adam, sejarawan, bahwa Irian berasal dari bahasa Biak, berarti bangsa yang diangkat tinggi.

“Pak Soes seangkatan dengan siapa di Tamansiswa Jakarta?”

“Antara lain AM Ardan, Sobron Aidit, Misbach Yusa Biran …”

“Terang Bulan Terang di Kali,” sahutku.

Matanya terbeliak dan senyumnya mengembang. Kembali pada kecemerlangan harapan.

“Bagaimana dengan Pak Ajip?” tanya saya meniup-niup pawon kayu agar nyala bagus, cethik geni.

“Dia waktu menikah dengan istri pertamanya. Saya kado sabun seharga satu rupiah lima sen, sepuluh biji! Dia jorok sekali. Jarang mandi. Dan dia marah-marah setelah tahu itu dari saya,” ujarnya, nyengirnya lebar. Kemudian ia lekas-lekas menambahi bahwa Ajip baik sekali. Ia pun tak luput menerima kebaikannya. Setelah menikah dengan Nani Wijaya, ia mengundang Soes menginap di desa Pabelan, Magelang, tempat tinggalnya setelah sekian lama hidup di Jepang.

Pak Soes cakep di foto yang itu, batinku tak sempat keluar dari ujung bibir. Soes sepuh seperti membaca jelalatanku, “itu foto yang bikin Kompas untuk ilustrasi hasil wawancara. Ada beberapa foto, yang mereka pilih foto itu. Saya memang fotojenik, dalam gambar lebih cakep dari kenyataan,” pujinya sendiri tanpa berpikir menunggu mendapat pujian.

Ia utarakan mendapat sekian buku dari Kompas. Masing-masing seharga seratus ribu sekian rupiah dan honorarium dengan jumlah cukup besar. Itu merupakan apresiasi tingginya pada Kompas, menurutku. Cara berhitungnya dengan seksama, bisa membuat orang-orang sekarang melihat sosok Soes sebagai pribadi pelit. Sedangkan bagi saya yang kenyang mengimbangi orangtua, memang butuh referensi cukup untuk memahami keseksamaan mereka. Seperti juga tercermin pada paman ketika pulang kampung dari Jerman, atau rata-rata manusia ketika peristiwa Malari berusia empat puluhan awal.

Baca juga: Potret

“Anda bisa berbahasa Jerman?” Sekali lagi saya mengatakan tidak dan saatnya potong kue tart. Sedari tadi Vero kian ke mari rupanya memesankan kue tart. Gadis baik. Bocahnya, Lubaba berdiri dekat saya. Ia sedang membangun keberanian dengan memperhatikan Soes. Entah apa yang ada di benaknya. Ia nyaman dekat saya sambil melihat Soes ngudarasa.

Kue tart diserahkan Vero pada istrinya. Gadis pintar. Dan sebagai pembuka, Lubaba dapat irisan pertama dari istri Soes yang akhirnya tersenyum. Juga buku-buku yang dipilih Vero untuk dimintakan tandatangan. Soes tak perlu kacamata untuk menandatanganinya; Mata Gelap karya Mas Marco Kartodikromo yang dikata-pengantari Koesalah Soebagyo Toer, Mas Toer Bapak Kami karya Koesalah, Republik Jalan Ketiga karya Soesilo Toer, dan Perjuangan Sebuah Lembaga Pendidikan (Instituut Boedi Oetomo di Blora) karya Soesilo Toer. Oh, satu lagi Komponis Kecil karya Soes yang Vero sampaikan untuk ibunya.

Di dalamnya antara lain pesan Soes, “didik dirimu jadi bukan serigala tapi manusia.” Lalu disitir dari Napoleon, ia tulis, “antara jaya-nista, cuma selangkah bedanya.”
Saatnya berpamitan, Soes semacam tak mau ditinggal dan sedikit merajuk, “kuenya semestinya ditemani susu jahe.”

Merasa kami tak betah karena kurang diterima di rumah yang menyaksikan cerita dari tiga di antara anak-anak Mastoer dan Ibu. Saya mengulurkan tangan dan Soes jelas memastikan cara saya salaman. Ia semacam kenal dan tak kunjung melepaskan. Tak ketat tapi sama sekali bukan longgar dengan irama yang terjaga dengan menghadapkan badan setepat-tepatnya.

Vielen Dank und auf Wiedersehen, Frau,” ucap Soes.

Thchüss,” sahutku, pelan. Soes mengangguk dan tak perlu suara lantang untuk paham.

Hand shake-nya mengharukan hingga Soes mengikuti sampai ke pekarangan dan berhenti di gerbang. Istrinya sibuk mengandangkan tiga serangkai kambing mereka. Soes bertahan berdiri menyender regol. Kami kembali ke Jiken. Kabar termutahir, Pramoedya Ananta Toer lahir di kecamatan kecil tersebut. Sekitar 11 km dari rumah Mastoer ke arah timur.

Jiken, 27 Agustus 2024

2 komentar untuk “Soesilo Toer, Ziarah Literasi”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *